Kamis, 14 September 2017

Balada Si Penggerutu

Matahari kala itu sangat terik. Panas sekali. Lalu kulihat kau duduk bercengkerama dengannya. Tertawa. Haha-Hihi. Memamerkan gigi bak kelinci. Senang sekali rupanya kalian. Di tengah hari bolong begini.
Malas melihat sumber pemantik emosi, ku balikkan arah kaki. Ku perhatikan setiap sudut arah yang bisa kusinggahi. Kanan, kantin. Mungkin aku bisa memesan semangkuk bakso pedas buatan Mas Japri, si Koki penuh senyum meski wajahnya menyembulkan urat-urat galak seperti tokoh antagonis sinetron. Ah, lalu aku bisa memesan segelas jus mangga untuk menteralisir pedas dan panas yang nanti menyinggapi kulit, bibir, dan hati tenggorokan. Atau, kiri, toilet. Mungkin aku bisa membasuh wajah peluh akibat berkutat dengan kuis dadakkan dari Pak Melly (FYI, nama lengkap pak dosen ini sebenarnya Mellyndro tapi kami mahasiswa pecintanya lebih suka menyapanya Pak Melly). Atau, Lurus, gerbang kampus. Aku bisa langsung menjemput kendaraan roda dua yang setia menemaniku lalu menerobos jalanan macet demi menenggak secangkir kopi murah di kamar kosan kemudian tidur melupakan pemantik emosi dan kuis tadi.
Aku diam. 
Semenit.
Dua menit.
Empat Menit.
Tujuh menit.
Aku putuskan lurus ke depan. Itu lebih menggiurkan. Kopi dan kasur. Siapa yang bisa mengalahkan dua kombinasi maut itu. Tepat saat kulangkahkan kaki pertamaku..
Dia berjalan tepat di depan kedua mataku menuju kantin. Masih bersama si gadis genit itu. Masih dengan senyum kelinci itu. Masih. Hingga saat hendak ku putar arah agar tak berpapasan dengan pasangan kelinci genit itu. Dia memanggil namaku. Nyaring dan lantang.
Singkat cerita. Kami berbincang-bincang (mau tak mau). Dia setengah memaksa mengajakku ikut bersama mereka ke kantin (No. Of course not! A big no no!). Ku tolak dengan berbagai alasan, dari yang tidak masuk akal sampai yang sangat tidak masuk akal. Tapi mereka percaya. Mereka berlalu sambil melambaikan tangan. Aku sih diam, berusaha terlihat netral. Menatap mereka sampai tak terlihat bayangannya lagi.
Kurasakan ubun-ubun dikepala mulai protes kepanasan, barulah ku beranjak menjemput motor matic kecintaanku. Sambil menggerutu dan mengutuki setiap hal menyebalkan yang kutemui selama perjalanan dari kampus menuju kosan. Semacam, ibu-ibu dengan skill berkendara yang ajaib. Remaja tanggung yang menyeberang jalan seperti berjalan di karpet merah. Pedagang tahu bulat yang dengan giat menyetel lagu kebangsaan penjualannya padahhal jelas jalanan sedang macet, sama sekali tak ada faedahnya karena siapa yang mau menjajakan uangnya di kemacetan macam itu. Hingga yang paling random, melihat pemuda pemudi sedang berkasih-sayang di pinggir jalan. Menyebalkan sekali.
Sesampainya di kosan, ku parkir si matic kesayangan. Ku lepas sepatu. Mencari-cari kunci kamar yang entah kusimpan dimana tadi. Membuka pintu setelah menemukan kunci kamar tentu dibarengi mengutuki diri yang pelupa. Melepas tas ransel. Menyalakan televisi. Memanaskan air. Menyeduh secangkir kopi. Sambil menunggu kopi tak terlalu panas, kucari novel yang tadi kusimpan di tas ransel. Ketika itu pula ku temukan secarik kertas. Dilipat dengan rapih. Tanpa nama pengirim.

"Dia suka sekali senja. Seperti pujangga. Dia benci sekali panas. Seperti gadis manja. Tapi, dia bukan pujangga. Karena alasannya mencintai senja tidak seindah pengungkapan para pujangga. Katanya, senja itu aneh. Senja tidak jelas. Katanya, senja bisa menjadi temanmu saat sedih, pun bisa menjadi temanmu saat bahagia. Senja itu misteri. bagaimanapun perasaanmu, kau bisa menikmati senja. Tapi, dia juga bukan gadis manja. Karena alasannya menolak suka panas tidak semata karena dia tak suka kulitnya hitam dan kusam terbakar panas matahari seperti kebanyakan gadis manja. Katanya, panas itu seperti sedang meledeknya. Sudah tahu ada banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan, masih juga harinya dibuat semakin rumit dengan panas. Dia bukan gadis manja tapi gadis pekerja keras yang penuh misteri. Hatinya seperti senja. Pandai sekali menyembunyikan rasa. Sayangnya, Aku penyuka senja."


Selesai membaca aku terdiam. Rasanya seperti sedang membicarakan aku. Aku memang suka senja dan tidak suka panas. Bahkan alasannya pun nyaris betul semua. Sudah hampir sebulan kuterima surat semacam ini. Selalu tanpa nama. Selalu dengan tanda gambar bulan sabit di bagian bawah suratnya. Lebih tepatnya sudah empat kali kuterima surat. Setiap minggu satu surat. Dan hebat, caranya menyanjungku lewat kata-kata magis itu perlahan menetap disudut hati. Aku harus tahu siapa penulis abal-abal yang berusaha menyampaikan isi hatinya padaku. Siapa dia? Sepetinya orang yang aku kenal. Dia tahu semua sudut pandangku.






Di kantin.....
Gadis genit itu mencari topik-topik menarik agar membawa perbincangannya menjadi menarik dengan laki-laki yang mampu menimbulkan pemantik emosi pada gadis penyuka senja. Laki-laki itu mengeluarkan sebuah pena unik dan berlembar-lembar kertas. Gadis genit itu heran, kenapa selalu ada tanda yang sama disetiap gambar yang dibuat laki-laki itu. Jawaban yang diberikan sang laki-laki membingungkan gadis genit. 

"Karena bentuknya seperti sedang mengintip. Dia, mencintai langit dengan diam-diam. Ya, bulan sabit ini. Seperti aku, yang sedang mencintai senja dengan diam-diam."

1 komentar: