Senin, 08 Desember 2014

Missin' Home


Penat sekali rasanya hari ini.
Cukup lama pula gundah gulana macam ini tak menyapa.
Lama sekali, sampai hari ini.
Ku rasa dia merindukanku.
Makanya dia muncul lagi.
Dan….
Yap beginilah aku jadinya.
Diam menatap atap yang pekat sambil membiarkan dada tercekat.
Selamat datang kembali, wahai malam-malam yang berat.
Entah rasa kesepian macam apa yang ditiupkan dalam rongga-rongga dada ini hingga terasa begitu sesak.
Kurasa bukan soal romantisme.
Bukan.
Ini lebih seperti…
….nelangsa merindu rumah.
Mulai muak dengan padatnya perjalanan.

Sepertinya aku memang harus segera pulang.
Pulang untuk menata lagi semrawutnya hati yang beradu dengan pikiran.
Tapi jika itu terlalu rumit dan muluk
Maka setidaknya biarkan aku beristirahat.
Dan rumah adalah tempat istirahat paling tepat.
Tak terbantahkan.

Sabtu, 06 Desember 2014

Tentangku yang Tidak Diketahuinya (2): Aku Tanpa Dia

Dia menatapku tajam. Berusaha sekali menampakkan keseriusan ucapannya. Aku masih belum menyerah. Aku tahu benar sifatnya yang angkuh. Aku tahu benar sifatnya yang egois. Aku pun tak mau kalah menatapnya, aku masih ingin memperjuangkannya. Mungkin ini terdengar bodoh, dia selalu berusaha mendorongku menjauh manakala ada sedikit saja masalah tapi aku masih berdiri di tempat yang sama seperti tembok yang tak bergerak sedikitpun, membiarkannya mendorong hingga lelah walau dia tak benar-benar mendorong. Dia memang tak benar-benar mendorongku jauh darinya, dia hanya memukuliku hingga puas lalu membiarkanku tetap disampingnya. Betapa egoisnya dia dan betapa bodohnya aku.

Beberapa detik berlalu, tertegun pada keseriusannya kali ini, aku melemah. Tatapanku lesu, aku tertunduk pasrah. Kali ini aku merasa dia sungguh-sungguh, atau mungkin aku yang sudah lelah mengalah. Ya, kurasa aku lelah. Aku harus menyerah sebelum akhirnya aku hancur. Entah tekad apa yang mendorongku kala itu, aku membalikkan badan, melangkah maju mejauhinya hingga aku tak tahu kemana tempat yang kutuju.

Aku menoleh, tak kutemukan dirinya lagi. Aku berlari, berlari, dan terus berlari mencariya sampai aku berhasil melihatnya. Jauh dari tempatku berdiri, aku melihatnya sedang tertawa lepas. Seperti burung yang akhirnya terlepas dari sangkarnya. Seperti embun pagi yang bahagia menyambut mentari. Sebebas itu. Tak ada keberanian lagi untuk mendekatinya, kaki ini terasa membatu di tempat seperti mengatakan “kau tak seharusnya melangkah lagi, cukup sampai disini, biarkan dia bahagia.” Meski berjuta alasan egois ku bermunculan untuk datang lagi dalam hidupnya, menyapanya dan mengajaknya bercanda. Tawa lepasnya itu cukup menamparku, mengehentikan niatku bertebal muka demi terbebas dari rindu atasnya. Aku tak pernah melihat tawa itu saat dia bersamaku, tidak sekalipun. Aku kembali membalikkan badan dan melangkah pelan.

Entah berapa lama aku berjalan menjauh hingga bahkan jejak kakiku di tempat aku menatapnya dulu sudah menghilang. Mungkin, begitupun aku dalam hidupnya. Sudah hilang tak berbekas. Bertahun-tahun berlalu, sudah kutata kembali hidupku tanpanya. Itu bukan perkara mudah. Sesekali aku masih menanyakan kabarnya lewat langit, menenggalamkan diriku pada kerinduan tanpa asa. Begitulah hari-hariku terlewatkan sampai suatu ketika aku dikejutkan akan sebuah undangan yang mungkin akan mempertemukanku lagi dengannya. Aku sempat bimbang, akankah kusambut suratan takdir ini? Sementara aku ingat, dulu saja, mereka mempertanyakan keberadaanku setelah tak bersamanya. Bagaimana mungkin aku bisa berkumpul dengan mereka saat aku melihatnya sudah bahagia? Ya, aku memang tak baik-baik saja. Bahkan untuk mendengar namanya lewat mereka saja itu sulit. Aku sadar, rasaku untuknya lebih besar. Jadi dia tak akan tahu apa yang kurasakan. Begitupun mereka. Maka kuputuskan menjauh, biar saja aku bertemu orang baru agar tak ada yang menyebut namanya.

Merasa sudah cukup membaik, aku putuskan bertemu dengannya lagi lewat undangan itu, mungkin juga itu jawaban atas pertanyaanku tentangnya pada langit. Mungkin rindu ini akhirnya menemukan asa. Tertegun, dia menyapaku lagi dengan tawa bahagia – seperti yang kulihat dulu – segelintir nyeri itupun mendesir dari dalam dada. Tak ingin ada yang tahu lukaku, aku bercanda, tertawa, dan bercengkerama dengan yang lain. Aku bahkan mengaku teman wanita yang ku ajak kala itu kekasihku. Wanita itu sih terlihat bahagia saja saat aku melakukannya, aku tahu dia menyukaiku sejak dulu, tapi aku merasa jahat karena menjadikannya tameng atas keinginanku terlihat bahagia di depan dia yang terlalu lama menggoreskan luka. Entah apa yang merasukiku kala itu. Tak sengaja aku beradu pandangan dengannya saat yang lain sedang asyik menggoda aku dan teman wanitaku, aneh, aku merasakan kehampaan dari tatapan itu. Untuk beberapa detik dia tak bergeming, sampai akhirnya dia memalingkan wajahnya dariku dan kembali menampilkan tawa bahagia khas miliknya. Detik itupun aku sadar, aku sudah memutuskan benang tipis yang mnghubungkanku dengannya. Aku lupa, tawa itu memang terlihat bahagia. Ya, karena tawa itu adalah tawa khasnya saat menutupi sesuatu. Aku lupa bahwa dia pandai sekali menutupi lukanya. Aku lupa dia juga wanita biasa. Aku lupa dan kini aku menyesal. Dia mungkin bisa membuatku hancur saat bersamanya tapi aku bahagia. Kini aku pun hancur. Dan aku tak bersamanya.

Kuliah, Mahasiswa Baru, dan Nenek Sihir


Aku berjalan dengan malas. Kupaksakan kakiku terus bergerak maju menuju tempat pertemuan bagi mahasiswa baru dan juga senior – mahasiswa kolot ups mahasiswa lama maksudku – lebih tepatnya, di depan gedung fakultas bahasa di universitas angkasa. Aku memang menjadi bagian dari mahasiswa baru itu dan aku malas karena pastinya aku akan membawa pulang serentetan tugas mustahil nan ajaib dari para senior, apalagi kalau bukan tugas untuk masa orientasi kampus. Menyebalkan, bukan?
Aku sudah hampir sampai di tempat pertemuan itu dan aku dapat melihat segerombolan mahasiswa-mahasiswa baru berdiri di taman depan gedung fakultas bahasa dengan gaya yang beragam. Mulai dari yang sangat alim dan terlihat manis hingga yang terlalu ingin dibilang modis dan terkesan berlebihan. Semuanya ada, lengkap. Dari tempatku berdisi saat ini, aku juga bisa melihat puluhan senior memakai jas almamater kebanggaannya sedang berkumpul di kursi-kursi depan pintu gedung. Ada yang sibuk mencatat, membaca, dan juga terlihat serius berdiskusi dengan temannya, ada juga yang asik memperhatikan tingkah mahasiswa baru sambil sesekali berbisik dan menertawakan sesuatu dengan teman-temannya. Semuanya ada, lengkap. Akhirnya kupasrahkan juga diriku berjalan lagi dan memasuki gerombolan mahasiswa baru dengan beragam gaya itu. Semalam aku sudah melakukan senam wajah untuk merileksasikan otot-otot wajah jutek ini agar terlihat lebih jinak. Sesampainya di depan gerombolan mahasiswa baru, aku membuat senyuman selebar yang bisa bibirku buat.
“Hai….” Sapaku singkat dengan nada lembut dan tenang agar mendukung wajah manis yang sedari tadi kupasang walau sebenarnya aku berdoa agar senam wajah semalam berhasil membuat wajahku terlihat lebih ramah dan bukannya malah menjadi seperti nenek sihir yang memaksakan diri terenyum. Ya beginilah sulitnya memiliki wajah yang terlihat elegan atau lebih tepatnya jutek dan garang. Oke, kembali ke kenyataan. Sepertinya strategiku cukup berhasil atau mungkin juga tidak karena ada beberapa yang membalas sapaanku dengan tulus dan membalas senyuman ala bidadariku dan ada pula yang menatapku heran, mungkin dia berpikir nenek sihir dari antah barantah mana ini. ya mungkin saja…

Rabu, 22 Oktober 2014

Tentangku yang Tidak Diketahuinya (1): Harus Tahu Diri


Dia menatapku dalam. Tak mau kalah, ku balas pandangan itu sehambar mungkin. Berusaha menjelaskan kejenuhan dari tatapan hambar ku itu. Sedetik, dua detik, hingga lima detik berlalu, ia tak bergeming. Baru pada detik keenam, pandangannya melemah. Pasrah. Tapi bukannya lega yang kudapati sesaat saat dia tertunduk lesu, kekecewaan justru mendesir dari dalam dada. Aku ternyata kecewa. Aku ingin dia tak menyerah. Tidak sedetikpun aku menginginkan kepergiannya.

Sayangnya aku terlalu sombong. Aku terlalu tamak. Aku terlampau enggan untuk mengakuinya. Bukannya menahan dia yang kini memalingkan tubuh dariku yang pergi menjauh, aku berdiri dalam diam memandangnya dengan angkuh.

Berpikir bahwa ia akan kembali entah kapan. Setidaknya, itulah yang biasa ia lakukan. Ia yang begitu sabar dengan kelakuan congkakku, dengan segala kelakuan tidak tahu diriku. Ia yang begitu sabar akan mendatangiku lagi, menerimaku utuh, memaklumiku, kemudian berdiri di sampingku. Dia si sabar itu.

Sampai aku sadar. Dia juga manusia. Si sabar itu juga manusia. Ia juga bisa lelah. Ia juga bisa muak. Aku yang ternyata sudah entah berapa lama berdiri di tempat yang sama, memandang punggungnya dalam diam hingga tak sejengkal tubuhnya pun terlihat dari jangkauan mataku, aromanya yang tak tercium dari hidungku. Aku masih di sini. Menantinya, dengan mata yang berawan. Sementara ia sudah menata hidupnya, tanpa ada namaku lagi.

Hari ini kusadari, ia tak sama lagi. Penantianku harus diakhiri. Sebab aku melihatnya lagi tapi bukan sebagai si sabar milikku. Kini ia adalah si sabar untuk seorang gadis disampingnya.

Mata berawanku pun hilang berganti hujan yang kini deras membasahi pipi. Tanpa ada suara dari bibir pengecutku ini. Aku, si congkak ini, menangis dalam diam. Berusaha menjadi cukup tahu diri untuk tidak memandangnya pedih, cukup tahu diri untuk tidak memohonnya kembali dalam setiap doa di tengah sunyinya malam. Aku harus tahu diri.

Minggu, 12 Oktober 2014

BABAKBELUR

Pernah merasa kecewa?
Pernah merasa sedih?
Pernah merasa marah?
atau pernahkah merasakan ketiganya secara bersamaan?

Jika ya, pasti kalian tahu rasanya semenyebalkan apa bukan?
Menyebalkan sekali. Membuat semuanya terasa tidak benar. Terasa bagai hempasan angin kosong.
Betapa menyesakkan.

Sampai rasanya tidak sanggup lagi bersikap angkuh pada dunia. Tidak sanggup lagi. Tidak.
Tidak juga sanggup berpaling karena tak ada lagi tenaga. Sekali lagi, semuanya terasa salah.
Bibir ingin sekali berkata bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan, semua bisa teratasi. Tapi yang terjadi, kaki ini melangkah mundur, tangan ini meraba-raba, tubuh ini butuh sandaran.

Melelahkan.
Menguras kekuatan.
Membabakbelurkan hati diantara kondisi fisik yang sempurna, yang baik-baik saja.

Semuanya terasa tidak benar. Tidak dengan keadaan, tidak dengan orang lain, tidak juga diri ini sendiri.
Tidak ada.

Sabtu, 04 Oktober 2014

Menghapus Senja


Langit senja mulai berganti pekat, menambah sesak luka yang kian menjerat. Aku duduk manis di bangku pengantar memori masa lalu tentang sesosok makhluk yang begitu melekat, di bawah langit yang pekatnya terasa dekat. Sepotong kisah ini tak akan pernah menjadi utuh tanpa kehadiran tokoh utamanya, tokoh yang begitu memikat. Entah dia begitu egois atau aku yang terlalu melankolis.
Setahun lalu, tepat di tempat yang sama dan waktu yang sama. Tepat di bukit yang sama dan senja yang sama. Bedanya, saat senja berganti pekat, dulu terasa hangat. Itu saja. Itu saja perbedaannya.

                                                             *****
           
“Aku selalu suka tempat ini, terlebih lagi, senja ini.” Ucapnya dengan seulas senyum tipis.
            “…” Aku tersihir keindahan senyuman itu dan tak berkata apa-apa.
            “Kamu enggak tanya kenapa?” Dia tersenyum lagi. Kali ini lebih mengembang. Membuat aku semakin tersihir.
            Tiba-tiba dia menoleh ke arahku. Memicingkan sebelah matanya, membuat alisnya yang indah menjadi berkerut serta menampakkan wajah penuh tanya. Aku tersadar, tadi dia bertanya padaku. Dengan gugup aku menjawab, “Oh, emangnya kenapa?” Kerutan alisnya menghilang, berganti senyuman dengan memamerkan deretan giginya yang indah. Oh Tuhan, kenapa seyumannya begitu menawan? Membuat aku tersihir berkali-kali. Lebih dari itu, aku bersyukur. Karena keindahan ciptaan-Mu itu adalah laki-lakiku. Cinta pertamaku.
            Seakan ditarik kembali dari dunia imajinasiku, aku mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya.
            “Karena kamu mau tahu, aku akan menunjukkannya untuk kamu.”
            “…” Bingung, aku hanya menatapnya penuh tanya.
            “Coba kamu tutup mata…” disentuhnya tanganku dengan lembut dan meletakkannya di mataku. Aku hanya menurut.
            “Sekarang, coba kamu rasakan setiap hembusan anginnya.” Dengan patuh, aku mencoba merasakannya. Merasakan setiap hembusan angin yang menerpa wajahku, menggerakkan helai demi helai rambutku yang tergerai, dan hembusan yang seakan membisikkan sesuatu di telingaku.
            “Aku sayang kamu.”
            Kubuka mataku, tertegun atas apa yang aku dengar tadi. Saat aku menoleh ke arahnya, ku dapati pemandangan yang begitu menawan. Menyilaukan segenap rasa yang selama ini tertahan. Tertahan akan keadaan. Dua tahun tak bertemu membuat rindu ini tertahan.  Pemandangan itu adalah dia. Dia dengan segala pesonanya sedang duduk bersandar di bangku tepat di sampingku, menatap langit, menerka jalan mana yang akan ditempuh. Keindahan itu tak berhenti sampai di situ, pantulan sinar matahari senja menjelang pekat yang mengenai tubuhnya memancarkan kesejukkan yang nyata di depan mata ini. Masih tertegun, kurasakan dentuman dari dalam dada. Begitu nyaring dan cepat.
            “Aku selalu suka tempat ini karena tempat ini selalu bisa mebuatku tenang. Pemandangannya, pohonnya yang hijau. Dan tentunya senja di sini menambah keindahan yang ada di tempat ini. Langit senja dan tempat ini adalah kombinasi yang selalu bisa membuatku nyaman dan tenang. Hebatnya lagi, saat ini, di sini, ada kamu. Menjadikan hal terindah dan semakin istimewanya tempat ini untuk aku.”
            Dapat aku pastikan, kedua pipiku memerah saat itu juga. Tanpa sadar aku tersenyum mendengar setiap perkataannya. Apa itu benar atau hanya gombalan, aku tidak peduli lagi. Mendengar semua itu darinya sudah membuat aku bahagia.
            “Nala….” Wajahnya tiba-tiba saja berubah menjadi sendu, Ia turunkan sandaran di bangkunya. Tampak jelas ada sesuatu yang besar yang dipikirkannya dan itu mengganggunya. Detik itu juga aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Sesuatu yang bisa menghancurkan segala keindahan hidupku saat ini. Ah, ya. Aku ingat. Dia mengajakku ke tempat ini untuk membicarakan sesuatu. Membicarakan aku, dia, kita.
            “Ada apa, Tra? Apa ada sesuatu yang enggak beres?” Kubalikkan tubuhku mengarah padanya yang terduduk lesu. Menatapnya dalam-dalam, menuntut penjelasan.
            “Aku…” Ia tegakkan duduknya dan menutup matanya, seakan memikiran apa yang harus dikatakannya. Sesaat kemudian Ia mencoba menatapku. Tapi, baru saja mata kita bertemu, Ia menundukkan kepalanya dan meremas rambutnya. Tampak frustasi.
            Shit!! Apa yang udah gue lakukan?!” Tiba-tiba saja Ia marah, marah pada dirinya sendiri.
            “Ada apa sih Putra?  Memangnya apa yang kamu lakukan?” Aku tahu ini pasti sesuatu yang buruk. Tapi aku mencoba untuk tenang. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.
            Tanpa berani menatap lurus mataku, Ia tampak mengatur napas dan mencoba mengatakan sesuatu yang sedari tadi aku tunggu.
            “Aku sayang kamu. Aku cinta sama kamu. Sangat. Aku mau kamu tahu itu, Nala.”
            “Aku juga sayang kamu Putra dan aku juga masih enggak percaya kamu bisa suka sama aku.” Muncul senyum simpul dari bibirku. Malu. Tapi tiba-tiba aku mendengar tarikan napas lelah darinya. Ini membuatku bingung.
            “Haaaa….” Ada jeda sejenak sebelum ia melanjutkan perkataannya. “Kamu harus percaya aku sayang sama kamu. Dan rasa ini besar, besar sekali Nala. Kamu itu sangat berharga, jadi please berhenti mikir kalau kamu beruntung pacaran sama aku karena sebenarnya akulah yang beruntung bisa mendapatkan kamu.”
            “Hahaha, iya iya. Kamu beruntung. Aku juga beruntung. Jadi kita sama-sama beruntung ya, impas kan? Aku kira kamu mau ngomongin apa ternyata cuma ini.” Segelintir perasaan lega mengalir dari hatiku.
            “…” Ia tak merespon apa-apa.
            “Yaudah kita pulang yuk, udah mau gelap nih.” Baru saja aku berdiri dari bangku, tanganku digenggamnya. Seketika aku menoleh menatap wajahnya.
            “Kita harus putus.” Kata-katanya singkat, padat, dan… mencekat.
            Entah apa yang merasuki Putra, kenapa dia bisa tiba-tiba berkata seperti itu. Aku tahu dia jahil, tapi ini gak lucu sama sekali.
            “Jangan becanda deh, udah yuk”
            “Aku serius. Kita harus putus, Nala.”
            Aku menatapnya tajam, ada kelelahan yang tampak jelas di matanya. Ini bukan gurauan. Hatiku seakan dipatahkan menjadi dua. Aku harus tahu alasannya. Kujatuhkan tubuhku kembali duduk di bangku yang tadi.
            “Kenapa? Kenapa Putra? Setelah apa yang barusan kamu bilang, sekarang kamu minta putus? Kenapa? Apa aku melakukan kesalahan?” Aku tahu mata ini mulai berkaca-kaca, tapi aku tak akan menangis. Tidak boleh.
            “Ini sama sekali bukan kesalahan kamu, ini karena aku sayang sama kamu.”
            “Bisa tolong berhenti ngomong sesuatu yang omong kosong? Aku butuh penjelasan.”
            “Maaf Nala. Ini semua memang salah aku. Tapi aku benar-benar sayang kamu.” Tangannya mencoba menggenggam tanganku, namun kutepiskan dengan cepat. Omong kosong apa ini?
            “Terus kenapa kita harus putus!? Kalau kamu sayang aku, terus kenapa? Kenapa? Kena…”
            “Aku menghamili Citra!!”
            “…” Seakan disambar petir, aku terdiam. Geram. Tak percaya dengan apa yang kudengar barusan.
            “Seperti yang kamu tahu, sudah dua tahun ini aku dan Citra kuliah di Ausie dan….dan semuanya terjadi begitu saja Nal, di luar kendali aku.”
            “Kenapa Citra? Kenapa sahabat aku?! Di luar kendali katamu, ha? Apa kalian enggak mikirin aku di sini? Kamu enggak mikirin aku? Dua tahun di Ausie enggak sebanding dengan 5 tahun pacaran kita!” Aku tak tahan lagi. Air mataku pun mengalir, deras sekali. “…aku jadi ngerasa bego, bego banget! Dengan tololnya, aku nungguin kamu tapi kamu malah senang-senang. Parahnya lagi sama sahabat aku. Aku memang benar-benar tolol!”
            “Aku mohon jangan salahin diri kamu sendiri. Ini semua salah aku Nala. Aku memang enggak bisa menjaga kepercayaan kamu.”
            Enggak usah sok peduli sama aku!”
            “Maaf, Nala. Maaf. Itu semua terjadi di bawah pengaruh alkohol. Aku dan Citra enggak pernah ada hubungan yang spesial. Sungguh.”
            Udah enggak ada gunanya lagi semua kata-kata kamu itu. Lebih baik kamu tanggung jawab atas apa yang kamu lakukan ke Citra. Jangan pernah hubungi aku lagi!”
            Hatiku hancur. Pikiranku kabur. Ingin rasanya aku lari menjauh dari Putra namun kakiku lemas. Hati ini pun seakan diperas-peras. Aku lelah. Aku pasrah. Kulangkahkan kakiku selangkah demi selangkah. Berharap semua kejadian hari ini hanyalah mimpi buruk dan aku bisa segera terbangun. Sayangnya, pedih ini begitu jelas terasa. Nyeri hati ini amat nyata. Memaksaku menyadari ini semua bukan sekedar mimpi buruk, ini kenyataan yang bahkan lebih buruk dari mimpi buruk sekalipun. Semua imajinasi yang menggambarkan keindahan hidupku hari ini, hancur berantakan. Dua tahun yang kutunggu demi bertemu cinta pertamaku lagi menjadi sia-sia. Dan lima tahun yang aku habiskan bersamanya menjadi percuma. Tak ada artinya.

*****

            Semua kenangan itu masih tergambar jelas di ingatanku. Dan luka kala itu masih saja menganga. Setahun sudah setelah kejadian itu berlalu, namun kisah tentangnya masih saja melekat bagai benalu. Aku masih terduduk di bangku, bangku yang sama setahun lalu. Setelah aku dan dia mengakhiri kisah tentang kita di sini, aku mendengar bahwa mantan kekasihku dan sahabatku itu pindah ke luar negeri. Dan aku tak ngin tahu dimana itu.
Butuh waktu seminggu bagiku untuk bisa jatuh cinta padanya. Tapi butuh waktu setahun membuatku berani menatap masa depan. Hingga akhirnya aku memutuskan datang ke tempat ini lagi. Dengan satu tujuan. Meninggalkan segala kenangan itu di sini. Membiarkan hembusan angin di bukit ini menerbangkan segenap rasa untuknya dan membiarkannya melayang di langit senja ini. Luka itu mungkin akan tetap ada, tapi akan aku simpan di ruang yang tepat dan membiarkan ruang lain untuk di isi oleh orang yang tepat. Selamat tinggal cinta pertamaku. Semoga kau bahagia bersama sahabat baikku.

Jumat, 19 September 2014

Mirror | rorriM


Dia memandangku tajam.
Tatapannya menelisik.
Benar-benar membuatku merasa terusik.
Matanya menyorotkan kemarahan, kebencian yang tidak aku mengerti.
Cukup untuk membuat nyaliku ciut.
Aku takut.
Mata itu seperti ingin menyalahkan, menyampaikan umpatan-umpatan.

Awalnya ku pikir tatapan itu ditujukkan untuk ku. Sebab aku benar-benar merasa kecil dibawah sorot mata itu.
Tapi, saat aku dengan takut-takut berusaha menatap balik mata itu, saat itu pula aku menyadari bahwa tatapan itu bukan untukku. Tidak sama sekali.

Mata itu memang marah, benci, ingin mengumpat. Memang benar.
Namun bukan kepada ku atau orang lain. Melainkan dikhususkan kepada dunia, kepada semesta.
Dia seperti tak puas dengan hidupnya, dunianya.

Tatapan mata itu benar-benar meresahkanku.
Merasa penasaran, ku coba menatapnya lebih dalam, menyingkirkan perasaan takutku pada tatapan itu.
Berusaha mencari celah kemungkinan alasan dia membenci.
Menggali guratan pengalaman yang membentuk tatapan itu.
Ku pandangi garis-garis letih dari wajahnya.
Ku selami matanya yang hitam legam.
Tatapannya yang kelam.
Anehnya, aku merasa ada yang salah dari raut wajah itu, dari tatapan itu.
Mata itu bukan memancarkan kebencian tapi lebih menyorotkan kesedihan.
Kesedihan yang mendalam ku temukan dari dalam mata tegas itu.
Kesedihan yang tersamar dari keangkuhan mata yang mengungkung air mata di dalamnya.
Tak membiarkan setetes pun lolos menggulirkan dirinya diantara pipi yang kini seolah kehausan, kekeringan.
Air mata itu tertahankan kemudian menjelma menjadi kekuatan fatamorgana.

Sebab dia tak sekuat itu, tak seberani itu untuk membenci kehidupan.

Dia sedih.
Ingin menyalahkan.
Tapi satu-satunya hal yang dapat dia persalahkan adalah dirinya sendiri.
Ya, dirinya sendiri adalah alasan paling rasional yang dia simpulkan atas bagaimana dia hidup selama ini.

Aku memandangnya pilu. Merasa kasihan.
Dia balik memandangku kelu. Membisu.
Kami saling berhadapan. Berusaha mengerti kepedihan masing-masing.

Aku yang terduduk di depan cermin dan dia yang terduduk di seberang cermin.

Aku terhenyak.

Dia itu……….. Aku?

Minggu, 14 September 2014

Aku yang Rindu


Terdiam ku pada malam. Membisu ku pada senyap. Melemah ku pada rindu. Aku yang begitu kuat dan angkuh ini merasa malu pada bulan, bintang, dan gelapnya langit malam.

Aku yang kini terbiasa dengan kesendirian tertegun pada ketidaknyamananku bersentuhan dengan kehampaan. Mungkin aku lupa bahwa diri ini pun merasakan rindu. Tapi entah rindu ini kusematkan untuk siapa. Mungkin juga sesungguhnya aku memang tidak merindukan “siapa” tapi merindukan “apa”. Apa yang mereka sebut kebersamaan, kasih sayang, maupun cinta.

Aku yang kini semakin berkawan dengan kesendirian mulai merasa bosan. Bosan memahami keadaan dan ingin bertindak demi kepentingan diri sendiri. Bukan ku tak pernah memikirkan diri sendiri. Bukan. Aku tak semalaikat itu. Aku sering memikirkan apa yang menguntungkan bagiku, bagi kepentinganku. Hanya saja pemikiran sok dewasa ku menyudahkannya, menghentikannya hanya menjadi sebuah pemikiran bukan tindakan. Sebab apa yang ku perbuat sering kali berlainan dengan pemikiranku. Aku bertindak bak protagonis naïf dalam sebuah drama. Tak ada yang salah memang. Mana ada orang yang menghujam perbuatan baik yang memperhatikan kepentingan orang lain. Sayangnya, tak selamanya hal itu tepat dilakukan.

Aku yang kini terlena dengan anggunnya kesendirian, megahnya kehampaan, dan angkuhnya kedewasaan terbentur pada kerinduan menyayangi. Aku rindu menyayangi, setidaknya diriku sendiri. Harus aku akui aku lelah beridiri tegak mengatakan ‘aku baik-baik saja’ manakala aku tahu yang kubutuhkan saat itu adalah bersandar. Aku yang angkuh itu pada akhirnya terjerat pada kekosongan yang mendalam. Memenjarakan ku pada wajah yang tegar dan kuat sementara hati ku semakin lemah dan menggigil kedinginan. Ya, hati ini kian dingin. Hati ini rindu merasakan hangat. Aku seharusnya ingat, bahwa yang ku jalani adalah kisah ku sendiri. Hidupku adalah milikku sendiri. Aku adalah pemimpin bagi diriku sendiri maka aku bertanggung jawab atas diriku seutuhnya. Bukan untuk orang lain tapi ini untuk diriku sendiri.

Jumat, 05 September 2014

Daun yang Menanti Angin

Angin berhembus lembut, menyapa daun yang terdiam seakan menanti sesuatu. Daun pun bergerak melenggak-lenggokkan helaian dirinya, memamerkan keindahannya seolah menyambut jawaban dari penantiannya.
Begitu harmoni. Begitu indah. Begitu damai.
Meski daun tak sepopuler bunga yang diibaratkan seorang putri sementara daun hanya dianggap dayangnya. Daun tak berontak. Tak iri, tak dengki, tak juga dendam pada bunga. Meskipun mungkin kadang ia cemburu pada bunga yang selalu dipuja kecantikannya sementara ia selalu diabaikan, tak jarang dibuang karena dirasa mengganggu pemandangan. Tapi, sekali lagi, daun tak iri, tak dengki, tak juga dendam. Sebab daun paham begituah ia diciptakan. 
Daun, si penyambung hidup bungan dan tanaman, tak pernah mengeluh pada keadaan bahkan rela berkorban menanggalkan dirinya jika tanaman beradu nasib dengan kekeringan. Daun tak pernah mempertanyakan kehendak Tuhan atas dirinya. Sebab daun paham begitulah ia diciptakan.
Daun merasa beruntung karena ia bisa berlama-lama menggelayutkan tubuhnya pada tanaman, tidak seperti bunga yang selalu dipetik manusia atau dikerubungi hewan yang menyukai madunya. Daun merasa beruntung.karena ia bisa dengan tenang menunggu datangnya angin. Bersamaan saat angin datang menyapa daun yang termangu patuh dalam penantian, seseorang yang menyadarinya pun merasakan kedamaian. Daun yang begitu ikhlas menerima dirinya yang apa adanya itu mampu membawa makna bagi makhluk lain. 
Jadi, seperti apapun dirimu, sehebat apapun orang lain, kamu bukan dia begitu juga dia bukan kamu. Maka yang dapat kamu lakukan adalah menjadi dirimu. Seutuhnya. Dengan ikhlas. Sebab tak ada penciptaanNya yang tak berguna, tidak juga dirimu.

Sabtu, 26 Juli 2014

It's Lazy Time....



Saat ini saya sedang asyik menikmati kemalasan dan hidup layaknya pengangguran. Tidur, main handphone, main laptop, nonton TV, sampai akhirnya bosan dan berujung tidur lagi. Ditambah dengan suasana ramadhan yang bahkan tidur pun dapat imbalan. Ya, imbalan pahala. Sungguh bulan penuh berkah, e? Jadilah tindakan pemalasan saya ini mendapatkan alasannya. Alasan pembenarannya. Hahaha.
Tak apa, pikir saya. hampir beberapa bulan belakangan memang saya dikejar deadline. UAS, tugas, laporan, sampai yang paling akhir yaitu KKN (Kuliah Kerja Nyata). Hasilnya, barulah 10 hari menjelang lebaran saya bisa pulang ke kampung halaman. Miss You, PungMan (sapaan akrab saya untukmu kamPung halaMan yang baru saja terpikirkan beberapa menit yang lalu -_-‘). Jadi saya putuskan membiarkan diriku bermalas-malasan. Yah setidaknya membiarkan diri ini diam bersantai menikmati hari-hari sebelum memasuki ajaran baru alias semester baru yang sudah ditagih skripshit oleh kedua orang yang dengan keringatnya membiayai kuliah saya ini, mereka yang saya namai dikontak handphone saya, mamake dan bapake. Ah satu lagi – hampir saja saya lupa – dosen PA (Pembimbing Akademik) pun sudah menanyakan proposal skripshit tepat saat saya selesai mengontrak mata kuliah untuk semester depan.
And you know how it feel?
Rasanya hampir sama seperti kamu baru memesan es campur, nasi liwet, ayam penyet, sayur asem, sambal, dan beraneka makanan lain yang ingin kamu lahap saat buka puasa, dan setelah memberikan pesanan pada pelayannya, kamu disuguhi pertanyaan kapan kamu bisa menghabiskannya, menyantapnya tak bersisa?
Rasanya, kenyang seketika.
Yah.
Beginilah nasib mahasiswa lama menjelang tingkat akhir.

Maka jangan tanyakan saya manfaat bermaslas-malasan atau memberi saya nasehat panjang lebar tentang ketidakbaikan sikap malas. Setidaknya jangan sekarang. Sebab sungguh tak akan saya hiraukan :p

So, the conclusion is………………HAPPY LAZY TIME!! ^^

Dia yang Misterius



Angkuh.
Terlihat kuat.
Misterius.
Sulit ditebak.

Itulah kesan yang aku dapatkan selama mengenalnya. Tapi semakin lama aku justru menemukan ada yang rapuh dari dalam tubuhnya yang terlihat tangguh itu. Dan rasanya… aku ingin membetulkannya – seperti membetulkan mainan yang rusak – padahal jelas ia jauh lebih kompleks dari mainan karena dia manusia, dan dia laki-laki, jenis makhluk hidup yang tak ku mengerti jalan pikiran dan hatinya.
Tapi bagaimana caranya?
Ada banyak hal yang membuatku penasaran. Ada banyak pula alasan untuk tidak mengetahuinya. Aku tak ingin membesarkan rasa penasaran ku itu. Tak ingin melibatkan diri dalam situasi yang rumit. Maka aku tak bergeming. Berusaha mengabaikan. Sampai suatu ketika aku melihat ada hal lain dari dirinya yang membuatku tertegun.
Senyuman.
Ya, senyumannya yang menawan ku kembali dalam rasa penasaran yang selama ini ku hindari. Senyuman dari dia yang misterius.

Sabtu, 21 Juni 2014

Manusia Pengecut dengan Perasaan Transparan

Beberapa waktu terakhir ini - benar-benar sangat baru - aku dipertemukan lagi dengan perasaan-perasaan aneh yang mendebarkan tapi juga menyenangkan. Itu, perasaan manakala kau tiba-tiba tersenyum di tengah lautan orang padahal kau sedang berdiri sendirian. Iya, perasaan seperti itu.
Dan aku, salah satu tipe orang yang sangat mudah dibaca perasaannya. Oh yeah harus aku akui, pipi yang mengembang, gigi yang nongol dari sela-sela mulut, semuanya lantaran senyuman ini sulit sekali ditahan.
Menyebalkan bukan?
Akulah si manusia dengan perasaan transparan.

Kembali lagi dengan munculnya si makhluk kurang ajar yang sudah mengaduk-aduk jeroan hati ini (bukan jeroan semacam ampela usus dan kawan-kawannya itu, haha), dia muncul menawarkan apa yang -mungkin- aku harapkan. Aku sempat terlena, menikmati harapan yang hadir di depan mata seperti melihat mimpi yang menjadi nyata.
Tapi seperti yang kau tahu, tak ada yang mimpi yang abadi. Maka aku tak mau lama-lama bermimpi. Aku harus bangun, atau aku akan lupa bagaimana hidup di dunia nyata. 
Mengapa?
Jawabannya sederhana, karena aku takut. Takut dia akan jadi sama seperti yang lainnya. Terdengar seperti pengecut memang dan aku tak akan menyangkalnya. Sebab itu adanya.
Akulah si manusia dengan perasaan transparan yang juga seorang pengecut.

Jumat, 16 Mei 2014

Hai, Malam.

"Selamat malam." Kata ini kupersembahkan khusus untuk sejumput rindu naif nan egois yang - entah bagaimana caranya - muncul di sudut hati.

Tak banyak yang dapat kujelaskan. Jika kau memang pernah membaca tulisanku sebelum ini - tentunya di blog minimalis (lebih bisa dikatakan asal-asalan) - tentang bagaimana bodohnya aku yang tersangkut dalam untaian rumit, kusut, bahkan mungkin beberapa menyimpul atau mengeriting. Untaian perpaduan antara rasa, logika, juga kilasan-kilasan ingatan tentangnya. Membingungkan. Menyedihkan. Mengantarku kembali pada jalan buntu. 

Aku yang terduduk menatap laptopku mulai merasa bosan dan mataku menyusuri ruangan tempatku biasa tidur ini. Seperti menelanjangi seluruh ruangan memperhatikan apapun - semut atau cicak - yang terlihat bergerak agar aku bisa menyibukkan pikiranku. Mengenyahkan rasa rindu naif nan egois ini, menghempaskan kehampaan yang ditumbilkan dari senyapnya malam. Sayangnya, satu-satunya benda yang terlihat beraktivitas di tengah malam begini hanya jam weker kecil yang berdiri angkuh di samping tempat tidurku. Jarum jam terus bergerak memutar, bersuara 'tik-tok-tik-tok', membosankan. Aku heran, bagaimana mungkin bahkan nyamuk tak menunjukkan 'taringnya' - kusebut taring karena hanya kata itu yang terpikir olehku jika mengingat tentang benda penghisap darah, terdengar seperti korban film-film fiksi ha? aku tak peduli dan jika kau peduli, itu bukan urusanku - di kamarku ini. Apakah aku bahkan terlampau tidak menarik bagi nyamuk? 
Aku melantur. Atau mungkin juga tidak. Mungkin ini caraku agar otak ini terus bekerja, bukan hanya mengulang-ulang peristiwa-peristiwa kecil - manis ataupun pahit - saat aku dan dia masih menjadi kita. 

Muak juga membiarkan otakku bekerja pada hal-hal yang sebenarnya tidak perlu kupikirkan, seperti nyamuk dan taringnya tadi, bunyi gelembung dispenser yang mengagetkan tengah malam, atau semut yang menyusup masuk melalui celah di bawah pintu kamarku namun kemudian pergi lagi. 
Tidak penting. Tak ada yang penting. 

Yah walaupun begitu sepertinya ini cukup berhasil membuatku mengantuk dan bersiap tidur menjemput mimpi indah dan menghilangkan dia yang meresahkan hati dan pikiranku untuk beberapa saat.

Terima kasih jam weker, nyamuk, dan semut. Kini aku bisa memejamkan mata dengan ikhlas.

Selamat malam untuk diriku sendiri.