Senin, 08 Desember 2014

Missin' Home


Penat sekali rasanya hari ini.
Cukup lama pula gundah gulana macam ini tak menyapa.
Lama sekali, sampai hari ini.
Ku rasa dia merindukanku.
Makanya dia muncul lagi.
Dan….
Yap beginilah aku jadinya.
Diam menatap atap yang pekat sambil membiarkan dada tercekat.
Selamat datang kembali, wahai malam-malam yang berat.
Entah rasa kesepian macam apa yang ditiupkan dalam rongga-rongga dada ini hingga terasa begitu sesak.
Kurasa bukan soal romantisme.
Bukan.
Ini lebih seperti…
….nelangsa merindu rumah.
Mulai muak dengan padatnya perjalanan.

Sepertinya aku memang harus segera pulang.
Pulang untuk menata lagi semrawutnya hati yang beradu dengan pikiran.
Tapi jika itu terlalu rumit dan muluk
Maka setidaknya biarkan aku beristirahat.
Dan rumah adalah tempat istirahat paling tepat.
Tak terbantahkan.

Sabtu, 06 Desember 2014

Tentangku yang Tidak Diketahuinya (2): Aku Tanpa Dia

Dia menatapku tajam. Berusaha sekali menampakkan keseriusan ucapannya. Aku masih belum menyerah. Aku tahu benar sifatnya yang angkuh. Aku tahu benar sifatnya yang egois. Aku pun tak mau kalah menatapnya, aku masih ingin memperjuangkannya. Mungkin ini terdengar bodoh, dia selalu berusaha mendorongku menjauh manakala ada sedikit saja masalah tapi aku masih berdiri di tempat yang sama seperti tembok yang tak bergerak sedikitpun, membiarkannya mendorong hingga lelah walau dia tak benar-benar mendorong. Dia memang tak benar-benar mendorongku jauh darinya, dia hanya memukuliku hingga puas lalu membiarkanku tetap disampingnya. Betapa egoisnya dia dan betapa bodohnya aku.

Beberapa detik berlalu, tertegun pada keseriusannya kali ini, aku melemah. Tatapanku lesu, aku tertunduk pasrah. Kali ini aku merasa dia sungguh-sungguh, atau mungkin aku yang sudah lelah mengalah. Ya, kurasa aku lelah. Aku harus menyerah sebelum akhirnya aku hancur. Entah tekad apa yang mendorongku kala itu, aku membalikkan badan, melangkah maju mejauhinya hingga aku tak tahu kemana tempat yang kutuju.

Aku menoleh, tak kutemukan dirinya lagi. Aku berlari, berlari, dan terus berlari mencariya sampai aku berhasil melihatnya. Jauh dari tempatku berdiri, aku melihatnya sedang tertawa lepas. Seperti burung yang akhirnya terlepas dari sangkarnya. Seperti embun pagi yang bahagia menyambut mentari. Sebebas itu. Tak ada keberanian lagi untuk mendekatinya, kaki ini terasa membatu di tempat seperti mengatakan “kau tak seharusnya melangkah lagi, cukup sampai disini, biarkan dia bahagia.” Meski berjuta alasan egois ku bermunculan untuk datang lagi dalam hidupnya, menyapanya dan mengajaknya bercanda. Tawa lepasnya itu cukup menamparku, mengehentikan niatku bertebal muka demi terbebas dari rindu atasnya. Aku tak pernah melihat tawa itu saat dia bersamaku, tidak sekalipun. Aku kembali membalikkan badan dan melangkah pelan.

Entah berapa lama aku berjalan menjauh hingga bahkan jejak kakiku di tempat aku menatapnya dulu sudah menghilang. Mungkin, begitupun aku dalam hidupnya. Sudah hilang tak berbekas. Bertahun-tahun berlalu, sudah kutata kembali hidupku tanpanya. Itu bukan perkara mudah. Sesekali aku masih menanyakan kabarnya lewat langit, menenggalamkan diriku pada kerinduan tanpa asa. Begitulah hari-hariku terlewatkan sampai suatu ketika aku dikejutkan akan sebuah undangan yang mungkin akan mempertemukanku lagi dengannya. Aku sempat bimbang, akankah kusambut suratan takdir ini? Sementara aku ingat, dulu saja, mereka mempertanyakan keberadaanku setelah tak bersamanya. Bagaimana mungkin aku bisa berkumpul dengan mereka saat aku melihatnya sudah bahagia? Ya, aku memang tak baik-baik saja. Bahkan untuk mendengar namanya lewat mereka saja itu sulit. Aku sadar, rasaku untuknya lebih besar. Jadi dia tak akan tahu apa yang kurasakan. Begitupun mereka. Maka kuputuskan menjauh, biar saja aku bertemu orang baru agar tak ada yang menyebut namanya.

Merasa sudah cukup membaik, aku putuskan bertemu dengannya lagi lewat undangan itu, mungkin juga itu jawaban atas pertanyaanku tentangnya pada langit. Mungkin rindu ini akhirnya menemukan asa. Tertegun, dia menyapaku lagi dengan tawa bahagia – seperti yang kulihat dulu – segelintir nyeri itupun mendesir dari dalam dada. Tak ingin ada yang tahu lukaku, aku bercanda, tertawa, dan bercengkerama dengan yang lain. Aku bahkan mengaku teman wanita yang ku ajak kala itu kekasihku. Wanita itu sih terlihat bahagia saja saat aku melakukannya, aku tahu dia menyukaiku sejak dulu, tapi aku merasa jahat karena menjadikannya tameng atas keinginanku terlihat bahagia di depan dia yang terlalu lama menggoreskan luka. Entah apa yang merasukiku kala itu. Tak sengaja aku beradu pandangan dengannya saat yang lain sedang asyik menggoda aku dan teman wanitaku, aneh, aku merasakan kehampaan dari tatapan itu. Untuk beberapa detik dia tak bergeming, sampai akhirnya dia memalingkan wajahnya dariku dan kembali menampilkan tawa bahagia khas miliknya. Detik itupun aku sadar, aku sudah memutuskan benang tipis yang mnghubungkanku dengannya. Aku lupa, tawa itu memang terlihat bahagia. Ya, karena tawa itu adalah tawa khasnya saat menutupi sesuatu. Aku lupa bahwa dia pandai sekali menutupi lukanya. Aku lupa dia juga wanita biasa. Aku lupa dan kini aku menyesal. Dia mungkin bisa membuatku hancur saat bersamanya tapi aku bahagia. Kini aku pun hancur. Dan aku tak bersamanya.

Kuliah, Mahasiswa Baru, dan Nenek Sihir


Aku berjalan dengan malas. Kupaksakan kakiku terus bergerak maju menuju tempat pertemuan bagi mahasiswa baru dan juga senior – mahasiswa kolot ups mahasiswa lama maksudku – lebih tepatnya, di depan gedung fakultas bahasa di universitas angkasa. Aku memang menjadi bagian dari mahasiswa baru itu dan aku malas karena pastinya aku akan membawa pulang serentetan tugas mustahil nan ajaib dari para senior, apalagi kalau bukan tugas untuk masa orientasi kampus. Menyebalkan, bukan?
Aku sudah hampir sampai di tempat pertemuan itu dan aku dapat melihat segerombolan mahasiswa-mahasiswa baru berdiri di taman depan gedung fakultas bahasa dengan gaya yang beragam. Mulai dari yang sangat alim dan terlihat manis hingga yang terlalu ingin dibilang modis dan terkesan berlebihan. Semuanya ada, lengkap. Dari tempatku berdisi saat ini, aku juga bisa melihat puluhan senior memakai jas almamater kebanggaannya sedang berkumpul di kursi-kursi depan pintu gedung. Ada yang sibuk mencatat, membaca, dan juga terlihat serius berdiskusi dengan temannya, ada juga yang asik memperhatikan tingkah mahasiswa baru sambil sesekali berbisik dan menertawakan sesuatu dengan teman-temannya. Semuanya ada, lengkap. Akhirnya kupasrahkan juga diriku berjalan lagi dan memasuki gerombolan mahasiswa baru dengan beragam gaya itu. Semalam aku sudah melakukan senam wajah untuk merileksasikan otot-otot wajah jutek ini agar terlihat lebih jinak. Sesampainya di depan gerombolan mahasiswa baru, aku membuat senyuman selebar yang bisa bibirku buat.
“Hai….” Sapaku singkat dengan nada lembut dan tenang agar mendukung wajah manis yang sedari tadi kupasang walau sebenarnya aku berdoa agar senam wajah semalam berhasil membuat wajahku terlihat lebih ramah dan bukannya malah menjadi seperti nenek sihir yang memaksakan diri terenyum. Ya beginilah sulitnya memiliki wajah yang terlihat elegan atau lebih tepatnya jutek dan garang. Oke, kembali ke kenyataan. Sepertinya strategiku cukup berhasil atau mungkin juga tidak karena ada beberapa yang membalas sapaanku dengan tulus dan membalas senyuman ala bidadariku dan ada pula yang menatapku heran, mungkin dia berpikir nenek sihir dari antah barantah mana ini. ya mungkin saja…