Rabu, 23 September 2015

Malam Takbiran

Malam ini takbir berkumandang dari seluruh penjuru dunia. Setidaknya, di sini, di lingkungan kos saya.
Malam ini sulit sekali saya memeluk malam dengan nyenyak.  Setidaknya, sampai saat tulisan ini dibuat, tepat pukul dua dini hari.
Malam ini seharusnya saya sedang asik mengorok di kamar tidur kampung halaman. Setidaknya, saat-saat hari besar seperti ini, saat malam lebaran.
Malam ini, yang terjadi justeru, saya asyik menulis ini. Di bilik berukuran kecil yg saya sebut kamar kos, di kota rantau. Ditemani kawan senasib yg sedari tadi sudah jauh pergi ke alam mimpi.


Malam ini, malam menuju tanggal 24 september 2015, malam idul adha, malam saat saya bertambah tua.


Selamat malam.

Selasa, 22 September 2015

#Sikap

Tak bisakah kau selalu ada? Karena aku lelah mencari alasan. Tak bisakah kau rasakan hal yang sama? Karena aku lelah menguntai harap. Tapi...
Bisakah aku bertahan? Karena kau mulai membosankan.
Jadi, jangan terlalu percaya diri.
Karena aku tak hanya punya hati. Aku juga miliki harga diri,

Rabu, 16 September 2015

#Bulan

Kau ingat? Kita pernah mengejar bulan bersama. Saat itu hari sudah sangat malam. Hanya ada aku, kau, dan  ke-kaku-an kita yang sebelumnya tak pernah bertegur sapa. Anehnya, aku malah merasa hangat. Aku harap bulan di atas sana tak sedang menertawaiku. Sebab kau tau? Ada yang bergemuruh di dalam dada.

#Sihir

Sihir. Mungkin aku akan percaya sekarang. Sebabnya satu, aku jadi bukan aku sejak ada kau.

Sabtu, 05 September 2015

#Sibuk


Halo kamu yang sudah buat aku rindu. Bisakah kita bertemu? Tapi kamu sibuk. Aku juga sibuk mikirin kamu yang sibuk. Pada akhirnya, rindunya semakin menumpuk. Kamunya? Masih sibuk. 

#Pertemuan


Aku bertemu kamu karena dia.. atau sebenarnya kamu ingin betemu aku lewat dia? Bukan hal penting jawabannya. Toh, aku bertemu juga dengan kamu. Iya, kamu. Kamu yang buat aku tertawa.
Oh, hey. Mari kita berkawan.
Siapa tahu… nanti bisa jadi lebih. 

#Baper


Aku baper sama kamu. Kamu biasa saja.
Ah, tapi tak apa. Selama aku bahagia.
Apakah kamu bahagia? Aku tak tahu, tak mau tahu.
Karena jika aku tahu, aku takut baper lagi, takut meminta lebih. 

Cerita di Sore Itu. (Bagian 1)


Hari ini dia datang lagi. Sendirian lagi… dan ekspresi wajah itu lagi.
Kau tau, ada yang lebih aneh dari itu. Entah kenapa aku ke tempat ini lagi. Sangat aneh, sangat bukan aku. Sebagian dari diriku mengatakan, rasa penasaranku terhadap orang itu yang melangkahkan kaki ku kembali ke tempat ini. Sebagian lain, yang lebih terasa seperti sifatku yang biasa ku kenal, menolaknya. Aku hanya sedang ingin makan di tempat ini lagi. Itu saja. Begitulah seharusnya diriku. Tidak peduli dengan orang lain.
Kau lebih percaya yang mana?
Kuharap kau peraya yang kedua. Sungguh, aku hanya ingin datang ke tempat ini karena makanannya enak. Sama sekali tidak tertarik dengan gadis yang sedang duduk di samping jendela dengan ekspresi wajah yang menyedihkan itu. Sama sekali tidak peduli dengan gadis yang sudah dari seminggu ini kulihat selalu datang ke tempat ini duduk di tempat yang sama, waktu yang sama, dan selalu dengan memesan makanan yang sama. Aku tidak penasaran sedikitpun!
Hey, tapi, kau tahu, gadis itu kurasa sudah gila atau dia memang benar-benar sudah ketagihan dengan masakan restoran ini hingga tidak pernah melewatkan makan siangnya di tempat ini. Ya, menu masakan berbahan ayam disini kuakui memang di atas rata-rata. Ah tapi rasanya bukan itu alasannya datang kemari.
Oh ya, jangan kau pikir aku peduli dengan tujuan gadis itu, ya, well, karena aku duduk terpisah tiga meja dari depan gadis itu saja. Maka gadis itu terperhatikan oleh mataku ini.
Hari ini dia mengenakan celana jeans berwarna navy, blouse cantik berwarna merah muda, dan mengenakan flat shoes berwarna coklat. Ah, rambutnya kali ini ia biarkan tergerai indah. Kurasa sebelumnya ia tak pernah menggerai rambutnya, ia lebih sering mengikat rambut panjang bergelombangnya seperti ekor kuda.
Semakin lama diperhatikan, gadis itu manis juga. Tapi, ekspresi wajahnya itu membuat jengkel saja. Bukan maksud aku peduli, hanya saja jika memang dia sedang mengalami musibah atau kesulitan entah apa dalam hidupnya, kurasa tak perlu juga ia murung setiap hari seperti ini. Kau tahu, semua orang mempunyai masalah dalam hidup, bukan? Seperti juga aku, seperti juga kamu, dan bermilyar orang di dunia ini pun mengalaminya. Tapi ya seperti kata orang tua dahulu, hidup harus terus berjalan dan memang akan terus berjalan, masalah biar saja jadi pengalaman hidup, pemberi warna baru untuk hidup kita bukan justru jadi alasan kita untuk mengutuk keindahan hidup ini. Eh tunggu, mengapa aku jadi berceramah begini? Sudahlah. Pokoknya seperti itulah. Kau paham kan? Intinya, aku hanya kesal dibuat gadis itu, rasanya ingin sekali kutarik tangannya yang terlihat kurus itu, mengajaknya melihat mentari terbit di lepas pantai, senja di atas bukit, dan sendunya langit malam.
Sekarang aku malah berkata-kata seperti penyair. Gadis itu benar-benar ya. Tadi membuatku seperti penceramah yang shaleh, kemudian penyair yang bersahaja.
Aku bisa gila.
Baiklah, kuakui saja, aku memang penasaran. Gadis itu cantik, menarik, dan membuatku penasaran. Tapi kurasa, dia tak pernah menyadari kehadiranku. Sudah seminggu ini aku seperti penguntit menungguinya melamun di restoran ini.
Sebenarnya siapa sih gadis itu? Dan hey, kenapa pula aku selalu berdebar-debar setiap kali melihatnya.

Aku, Dio, si Penguntit mu gadis manis misterius di restoran ujung jalan tempatku bekerja.
*****
“Dodi, sini deh!” ucap seorang pelayan perempuan di restoran dengan menu andalan berbahan ayam kepada pelayan lainnya.
“Ada apa, Sus?” pelayan laki-laki yang dipanggil Dodi itu mendekati asal suara yang memanggil namanya.
“Lihat deh, laki-laki itu ke sini lagi.” sahut pelayan perempuan yang sedang bersembunyi dari balik dapur restoran.
“Maksud kamu yang mana?” tanya Dodi tak mengerti.
“Itu yang duduk di belakang, ah, empat meja dari jendela.” Suara pelayan perempuan itu kini terdengar berbisik.
“Oh, maksudnya Pak Dio?” sahut pelayan perempuan lain yang lebih besar badannya. Entah pelayan ini datang dari mana.
Susi dan Dodi yang sedang bercakap-cakap dengan suara pelan itupun sedikit terkejut. Kemudian ketiganya asik bergosip lagi.
“Kamu bikin kaget aja La.” Pelayan berbadan besar itu bernama Lala.
“Hehe. Habis kayaknya lagi ngobrolin sesuatu yang seru jadi aku nimbrung.” Ucap Lala sambil cengengesan.
“Eh, kamu tahu nama laki-laki yang duduk di situ?” sambut Dodi, berusaha mengembalikan perbinangan ke topik awal.
“Iya dong. Aku dapat berita nih dari teman-teman lain.”
“Oh iya, kamu kan biang gosip.” Susi berpura-pura tidak tahu dan menepuk jidatnya sendiri seolah-olah melupakan kenyataan bahwa Lala adalah biang gosip itu kesalahan besar.
“Mau dengar ceritanya tidak?” tanya Lala sambil cemberut, agak gusar dengan sebutan ‘biang gosip’ dari lawan bicaranya itu.
“Mau!!” jawab Dodi dan Susi nyaris bersamaan.
“Sst. Jadi begini ceritanya….”
*****
“Diooo, kamu harus datang jam 1 siang di tempat biasa ya, restoran di ujung jalan tempat kamu kerja itu loh.”
“Iya. Iya, Tia sayang. Memangnya ada apa sih?”
“Tuh kan, kamu kok lupa sih? Hari ini kita ada janji ketemu sama wedding organizer.” Jawab perempuan manis berambut panjang dari ujung telepon Dio yang sedang sibuk menahan tawa.
“Oh iya ya? Maaf ya sayang, aku lagi banyak kerjaan nih jadi aku lupa. Iya nanti aku pasti datang. Sudah dulu ya. Bye, sayang.” Dio segera menutup teleponnya kemudian tertawa kencang sekali.
“Hahahaha.”
“Jahil banget Lu, memangnya Lu ngerenanain apa?” tanya seorang laki-laki dengan tubuh tegap yang sedang duduk di sebalah meja kerja Dio.
“Lu tahu kan, gue udah pacaran lama sama Tia? Nah, hari ini tepat 2 tahun gue sama Tia pacaran. Jadi Gue mau ngasih surprise.” Jawab Dio sambil masih menahan tawa.
“Yaelah Bro, Lu sama Tia juga kan bentar lagi nikah.”
“Nah itu dia, momennya pas. Tia itu suka banget sama cincin yang beberapa minggu lalu gue sama dia lihat di toko perhiasan, sayangnya, itu cincin limited edition dan sudah dipesan orang lain.”
“Maksud Lu, cincin buat nikahan kalian?” tanya laki-laki itu mulai tertarik dengan cerita sahabatnya.
“Pinter banget sih Lu, Satrio, sahabat Gue yang satu ini memang paling kece.” Jawab Dio sambil menggoda Satrio, sahabatnya sejak masa kuliah.
“Lu mau lanjutin ceritanya enggak, sih?” sahut Satrio, kesal mendengar jawaban Dio yang menguji rasa penasarannya.
“Haha. Santai, Bro. Sebenarnya, gue sudah mendatangi toko perhiasan itu lagi dan mohon supaya bisa dicarikan model cincin yang sama, dan beberapa hari lalu gue dapat kabar gembira. Cincinnya udah gue dapat.”
“Keren juga Lu.”
“Iye, tapi ya gue harus bayar mahal. Haha.”
“Hahaha. Terus rencana surprisenya gimana?”
“Gue mau sekalian ngelamar dia secara formal di depan banyak orang di restoran itu. Kemarin kan pas gue ngelamar dia, enggak ada proses lamaran yang spesial gitu.” Wajah Dio mulai bersemu dan menyembulkan senyuman.
“Gue enggak nyangka, sahabat gue ini punya sisi romantis juga ya?” ucap Satrio sambil tertawa.
“Bebas deh Lu boleh ketawain gue, awas aja nanti juga Lu bakal lebih romantis dari Gue kalau Lu udah nemuin seseorang yang bikin Lu yakin kalau she’s the one that you’re looking for.”
“Aduh…duh…gue merinding dengernya. Hahaha.”
Jengkel diledek oleh sahabatnya sendiri, Dio pun keluar dari tempat kerjanya dan bergegas menyiapkan ‘proses lamaran romantis’ untuk Tia, calon istrinya.
*****
to be continued