Rabu, 22 Oktober 2014

Tentangku yang Tidak Diketahuinya (1): Harus Tahu Diri


Dia menatapku dalam. Tak mau kalah, ku balas pandangan itu sehambar mungkin. Berusaha menjelaskan kejenuhan dari tatapan hambar ku itu. Sedetik, dua detik, hingga lima detik berlalu, ia tak bergeming. Baru pada detik keenam, pandangannya melemah. Pasrah. Tapi bukannya lega yang kudapati sesaat saat dia tertunduk lesu, kekecewaan justru mendesir dari dalam dada. Aku ternyata kecewa. Aku ingin dia tak menyerah. Tidak sedetikpun aku menginginkan kepergiannya.

Sayangnya aku terlalu sombong. Aku terlalu tamak. Aku terlampau enggan untuk mengakuinya. Bukannya menahan dia yang kini memalingkan tubuh dariku yang pergi menjauh, aku berdiri dalam diam memandangnya dengan angkuh.

Berpikir bahwa ia akan kembali entah kapan. Setidaknya, itulah yang biasa ia lakukan. Ia yang begitu sabar dengan kelakuan congkakku, dengan segala kelakuan tidak tahu diriku. Ia yang begitu sabar akan mendatangiku lagi, menerimaku utuh, memaklumiku, kemudian berdiri di sampingku. Dia si sabar itu.

Sampai aku sadar. Dia juga manusia. Si sabar itu juga manusia. Ia juga bisa lelah. Ia juga bisa muak. Aku yang ternyata sudah entah berapa lama berdiri di tempat yang sama, memandang punggungnya dalam diam hingga tak sejengkal tubuhnya pun terlihat dari jangkauan mataku, aromanya yang tak tercium dari hidungku. Aku masih di sini. Menantinya, dengan mata yang berawan. Sementara ia sudah menata hidupnya, tanpa ada namaku lagi.

Hari ini kusadari, ia tak sama lagi. Penantianku harus diakhiri. Sebab aku melihatnya lagi tapi bukan sebagai si sabar milikku. Kini ia adalah si sabar untuk seorang gadis disampingnya.

Mata berawanku pun hilang berganti hujan yang kini deras membasahi pipi. Tanpa ada suara dari bibir pengecutku ini. Aku, si congkak ini, menangis dalam diam. Berusaha menjadi cukup tahu diri untuk tidak memandangnya pedih, cukup tahu diri untuk tidak memohonnya kembali dalam setiap doa di tengah sunyinya malam. Aku harus tahu diri.

Minggu, 12 Oktober 2014

BABAKBELUR

Pernah merasa kecewa?
Pernah merasa sedih?
Pernah merasa marah?
atau pernahkah merasakan ketiganya secara bersamaan?

Jika ya, pasti kalian tahu rasanya semenyebalkan apa bukan?
Menyebalkan sekali. Membuat semuanya terasa tidak benar. Terasa bagai hempasan angin kosong.
Betapa menyesakkan.

Sampai rasanya tidak sanggup lagi bersikap angkuh pada dunia. Tidak sanggup lagi. Tidak.
Tidak juga sanggup berpaling karena tak ada lagi tenaga. Sekali lagi, semuanya terasa salah.
Bibir ingin sekali berkata bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan, semua bisa teratasi. Tapi yang terjadi, kaki ini melangkah mundur, tangan ini meraba-raba, tubuh ini butuh sandaran.

Melelahkan.
Menguras kekuatan.
Membabakbelurkan hati diantara kondisi fisik yang sempurna, yang baik-baik saja.

Semuanya terasa tidak benar. Tidak dengan keadaan, tidak dengan orang lain, tidak juga diri ini sendiri.
Tidak ada.

Sabtu, 04 Oktober 2014

Menghapus Senja


Langit senja mulai berganti pekat, menambah sesak luka yang kian menjerat. Aku duduk manis di bangku pengantar memori masa lalu tentang sesosok makhluk yang begitu melekat, di bawah langit yang pekatnya terasa dekat. Sepotong kisah ini tak akan pernah menjadi utuh tanpa kehadiran tokoh utamanya, tokoh yang begitu memikat. Entah dia begitu egois atau aku yang terlalu melankolis.
Setahun lalu, tepat di tempat yang sama dan waktu yang sama. Tepat di bukit yang sama dan senja yang sama. Bedanya, saat senja berganti pekat, dulu terasa hangat. Itu saja. Itu saja perbedaannya.

                                                             *****
           
“Aku selalu suka tempat ini, terlebih lagi, senja ini.” Ucapnya dengan seulas senyum tipis.
            “…” Aku tersihir keindahan senyuman itu dan tak berkata apa-apa.
            “Kamu enggak tanya kenapa?” Dia tersenyum lagi. Kali ini lebih mengembang. Membuat aku semakin tersihir.
            Tiba-tiba dia menoleh ke arahku. Memicingkan sebelah matanya, membuat alisnya yang indah menjadi berkerut serta menampakkan wajah penuh tanya. Aku tersadar, tadi dia bertanya padaku. Dengan gugup aku menjawab, “Oh, emangnya kenapa?” Kerutan alisnya menghilang, berganti senyuman dengan memamerkan deretan giginya yang indah. Oh Tuhan, kenapa seyumannya begitu menawan? Membuat aku tersihir berkali-kali. Lebih dari itu, aku bersyukur. Karena keindahan ciptaan-Mu itu adalah laki-lakiku. Cinta pertamaku.
            Seakan ditarik kembali dari dunia imajinasiku, aku mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya.
            “Karena kamu mau tahu, aku akan menunjukkannya untuk kamu.”
            “…” Bingung, aku hanya menatapnya penuh tanya.
            “Coba kamu tutup mata…” disentuhnya tanganku dengan lembut dan meletakkannya di mataku. Aku hanya menurut.
            “Sekarang, coba kamu rasakan setiap hembusan anginnya.” Dengan patuh, aku mencoba merasakannya. Merasakan setiap hembusan angin yang menerpa wajahku, menggerakkan helai demi helai rambutku yang tergerai, dan hembusan yang seakan membisikkan sesuatu di telingaku.
            “Aku sayang kamu.”
            Kubuka mataku, tertegun atas apa yang aku dengar tadi. Saat aku menoleh ke arahnya, ku dapati pemandangan yang begitu menawan. Menyilaukan segenap rasa yang selama ini tertahan. Tertahan akan keadaan. Dua tahun tak bertemu membuat rindu ini tertahan.  Pemandangan itu adalah dia. Dia dengan segala pesonanya sedang duduk bersandar di bangku tepat di sampingku, menatap langit, menerka jalan mana yang akan ditempuh. Keindahan itu tak berhenti sampai di situ, pantulan sinar matahari senja menjelang pekat yang mengenai tubuhnya memancarkan kesejukkan yang nyata di depan mata ini. Masih tertegun, kurasakan dentuman dari dalam dada. Begitu nyaring dan cepat.
            “Aku selalu suka tempat ini karena tempat ini selalu bisa mebuatku tenang. Pemandangannya, pohonnya yang hijau. Dan tentunya senja di sini menambah keindahan yang ada di tempat ini. Langit senja dan tempat ini adalah kombinasi yang selalu bisa membuatku nyaman dan tenang. Hebatnya lagi, saat ini, di sini, ada kamu. Menjadikan hal terindah dan semakin istimewanya tempat ini untuk aku.”
            Dapat aku pastikan, kedua pipiku memerah saat itu juga. Tanpa sadar aku tersenyum mendengar setiap perkataannya. Apa itu benar atau hanya gombalan, aku tidak peduli lagi. Mendengar semua itu darinya sudah membuat aku bahagia.
            “Nala….” Wajahnya tiba-tiba saja berubah menjadi sendu, Ia turunkan sandaran di bangkunya. Tampak jelas ada sesuatu yang besar yang dipikirkannya dan itu mengganggunya. Detik itu juga aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Sesuatu yang bisa menghancurkan segala keindahan hidupku saat ini. Ah, ya. Aku ingat. Dia mengajakku ke tempat ini untuk membicarakan sesuatu. Membicarakan aku, dia, kita.
            “Ada apa, Tra? Apa ada sesuatu yang enggak beres?” Kubalikkan tubuhku mengarah padanya yang terduduk lesu. Menatapnya dalam-dalam, menuntut penjelasan.
            “Aku…” Ia tegakkan duduknya dan menutup matanya, seakan memikiran apa yang harus dikatakannya. Sesaat kemudian Ia mencoba menatapku. Tapi, baru saja mata kita bertemu, Ia menundukkan kepalanya dan meremas rambutnya. Tampak frustasi.
            Shit!! Apa yang udah gue lakukan?!” Tiba-tiba saja Ia marah, marah pada dirinya sendiri.
            “Ada apa sih Putra?  Memangnya apa yang kamu lakukan?” Aku tahu ini pasti sesuatu yang buruk. Tapi aku mencoba untuk tenang. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.
            Tanpa berani menatap lurus mataku, Ia tampak mengatur napas dan mencoba mengatakan sesuatu yang sedari tadi aku tunggu.
            “Aku sayang kamu. Aku cinta sama kamu. Sangat. Aku mau kamu tahu itu, Nala.”
            “Aku juga sayang kamu Putra dan aku juga masih enggak percaya kamu bisa suka sama aku.” Muncul senyum simpul dari bibirku. Malu. Tapi tiba-tiba aku mendengar tarikan napas lelah darinya. Ini membuatku bingung.
            “Haaaa….” Ada jeda sejenak sebelum ia melanjutkan perkataannya. “Kamu harus percaya aku sayang sama kamu. Dan rasa ini besar, besar sekali Nala. Kamu itu sangat berharga, jadi please berhenti mikir kalau kamu beruntung pacaran sama aku karena sebenarnya akulah yang beruntung bisa mendapatkan kamu.”
            “Hahaha, iya iya. Kamu beruntung. Aku juga beruntung. Jadi kita sama-sama beruntung ya, impas kan? Aku kira kamu mau ngomongin apa ternyata cuma ini.” Segelintir perasaan lega mengalir dari hatiku.
            “…” Ia tak merespon apa-apa.
            “Yaudah kita pulang yuk, udah mau gelap nih.” Baru saja aku berdiri dari bangku, tanganku digenggamnya. Seketika aku menoleh menatap wajahnya.
            “Kita harus putus.” Kata-katanya singkat, padat, dan… mencekat.
            Entah apa yang merasuki Putra, kenapa dia bisa tiba-tiba berkata seperti itu. Aku tahu dia jahil, tapi ini gak lucu sama sekali.
            “Jangan becanda deh, udah yuk”
            “Aku serius. Kita harus putus, Nala.”
            Aku menatapnya tajam, ada kelelahan yang tampak jelas di matanya. Ini bukan gurauan. Hatiku seakan dipatahkan menjadi dua. Aku harus tahu alasannya. Kujatuhkan tubuhku kembali duduk di bangku yang tadi.
            “Kenapa? Kenapa Putra? Setelah apa yang barusan kamu bilang, sekarang kamu minta putus? Kenapa? Apa aku melakukan kesalahan?” Aku tahu mata ini mulai berkaca-kaca, tapi aku tak akan menangis. Tidak boleh.
            “Ini sama sekali bukan kesalahan kamu, ini karena aku sayang sama kamu.”
            “Bisa tolong berhenti ngomong sesuatu yang omong kosong? Aku butuh penjelasan.”
            “Maaf Nala. Ini semua memang salah aku. Tapi aku benar-benar sayang kamu.” Tangannya mencoba menggenggam tanganku, namun kutepiskan dengan cepat. Omong kosong apa ini?
            “Terus kenapa kita harus putus!? Kalau kamu sayang aku, terus kenapa? Kenapa? Kena…”
            “Aku menghamili Citra!!”
            “…” Seakan disambar petir, aku terdiam. Geram. Tak percaya dengan apa yang kudengar barusan.
            “Seperti yang kamu tahu, sudah dua tahun ini aku dan Citra kuliah di Ausie dan….dan semuanya terjadi begitu saja Nal, di luar kendali aku.”
            “Kenapa Citra? Kenapa sahabat aku?! Di luar kendali katamu, ha? Apa kalian enggak mikirin aku di sini? Kamu enggak mikirin aku? Dua tahun di Ausie enggak sebanding dengan 5 tahun pacaran kita!” Aku tak tahan lagi. Air mataku pun mengalir, deras sekali. “…aku jadi ngerasa bego, bego banget! Dengan tololnya, aku nungguin kamu tapi kamu malah senang-senang. Parahnya lagi sama sahabat aku. Aku memang benar-benar tolol!”
            “Aku mohon jangan salahin diri kamu sendiri. Ini semua salah aku Nala. Aku memang enggak bisa menjaga kepercayaan kamu.”
            Enggak usah sok peduli sama aku!”
            “Maaf, Nala. Maaf. Itu semua terjadi di bawah pengaruh alkohol. Aku dan Citra enggak pernah ada hubungan yang spesial. Sungguh.”
            Udah enggak ada gunanya lagi semua kata-kata kamu itu. Lebih baik kamu tanggung jawab atas apa yang kamu lakukan ke Citra. Jangan pernah hubungi aku lagi!”
            Hatiku hancur. Pikiranku kabur. Ingin rasanya aku lari menjauh dari Putra namun kakiku lemas. Hati ini pun seakan diperas-peras. Aku lelah. Aku pasrah. Kulangkahkan kakiku selangkah demi selangkah. Berharap semua kejadian hari ini hanyalah mimpi buruk dan aku bisa segera terbangun. Sayangnya, pedih ini begitu jelas terasa. Nyeri hati ini amat nyata. Memaksaku menyadari ini semua bukan sekedar mimpi buruk, ini kenyataan yang bahkan lebih buruk dari mimpi buruk sekalipun. Semua imajinasi yang menggambarkan keindahan hidupku hari ini, hancur berantakan. Dua tahun yang kutunggu demi bertemu cinta pertamaku lagi menjadi sia-sia. Dan lima tahun yang aku habiskan bersamanya menjadi percuma. Tak ada artinya.

*****

            Semua kenangan itu masih tergambar jelas di ingatanku. Dan luka kala itu masih saja menganga. Setahun sudah setelah kejadian itu berlalu, namun kisah tentangnya masih saja melekat bagai benalu. Aku masih terduduk di bangku, bangku yang sama setahun lalu. Setelah aku dan dia mengakhiri kisah tentang kita di sini, aku mendengar bahwa mantan kekasihku dan sahabatku itu pindah ke luar negeri. Dan aku tak ngin tahu dimana itu.
Butuh waktu seminggu bagiku untuk bisa jatuh cinta padanya. Tapi butuh waktu setahun membuatku berani menatap masa depan. Hingga akhirnya aku memutuskan datang ke tempat ini lagi. Dengan satu tujuan. Meninggalkan segala kenangan itu di sini. Membiarkan hembusan angin di bukit ini menerbangkan segenap rasa untuknya dan membiarkannya melayang di langit senja ini. Luka itu mungkin akan tetap ada, tapi akan aku simpan di ruang yang tepat dan membiarkan ruang lain untuk di isi oleh orang yang tepat. Selamat tinggal cinta pertamaku. Semoga kau bahagia bersama sahabat baikku.