Senin, 20 Juni 2016

Terimalah

Ada yang tidak boleh kita rengkuh meski itu dekat sekalipun. Ada yang mendekat meski itu terasa sekali mengganggu. Ada pula yang seberapapun kita mencoba menggapainya, hanya akan sia-sia. Saat semua terasa dijauhkan, sedih sih boleh-boleh saja. Tapi jika kita berpikir lebih jernih lagi, mungkin memang begitulah sesungguhnya mereka ditempatkan dalam hidup kita. Maka terimalah, lalu bahagialah kita.

Senin, 06 Juni 2016

Cukup

Aku tak akan mengejarnya. Aku tak akan mendekapnya lebih dekat. Aku sudah cukup puas melihatnya dari tempatku saat ini. Tak akan kubiarkan hasrat ini menghancurkan segalanya. Meski aku tau bersamanya adalah keindahan yg kunanti sejak dahulu. Meski terkadang aku merasa dia jg menginginkanku sepertiku menginginkannya. Tapi aku terlalu pengecut mengutarakannya. Sebab aku tak sanggup menjauh darinya jika apa yg kuharap tak sejalan dg inginnya. Maka disinilah aku, menatapnya dari jarak yg tepat, pandangan yg tepat, agar dia tetap dekat meski tak sedekat yg kuharap.

Minggu, 05 Juni 2016

Tidak Boleh Dia

Aku terdiam. Ada yang mendesir dari dalam tubuhku dengan sangat pelan. Pelan sekali hingga aku sendiri pun ragu atas kebenaran adanya desiran itu. Sebenarnya apa yang terjadi pada ku saat ini. Dia bukan orang baru dalam hidupku. Bukan juga orang lama yang kunanti sejak dahulu. Dia hanya dia, seseorang yang kadang datang kemudian pergi seperti banyaknya orang lain dalam hidupku. Meski begitu, hubungan kami memang hanya sebatas itu, tak pernah terbersit di kepalaku ini untuk mengharapkan sesuatu yang lebih. Ku rasa dia pun begitu. Hingga datang malam ini, saat aku mulai menyadari debaran aneh saat menatapnya yang duduk terdiam di bawah langit malam bertabur bintang. Ada sesuatu dalam dirinya yang aku butuhkan, sesuatu yang tak pernah kusadari selama ini ada padanya. Mata itu, memancarkan tatapan yang meneduhkan jiwaku yang sering carut marut. Mata yang menenangkan, seolah mengundangku untuk berlindung. Rasanya indah sekali menyadari aku tak sebatu yang ku kira. Aku masih bisa merasakannya sejak entah kapan terakhir kali aku ingin bersandar pada seseorang. Sayangnya, aku tahu dia memang seperti itu. Menengkan bagi semua orang bukan hanya untuk aku seorang. Sayangnya, aku terlampau memahaminya bahwa aku tak pernah mampu membuatnya ingin melindungiku. Sayangnya, aku sangat tahu bahwa apa yang ku rasakan ini adalah sebuh kesalahan. Dia bukan orang yang bisa ku harapkan. Maka disinilah aku, menitipkan segenap rasa itu pada langit, menguapkannya dalam doa, aku mohon jangan dia. Maka disinilah aku, meninggalkan kesalahan itu di tempat yang tepat. Tak akan ku buka lagi walau sesaat. Sebab apapun yang terjadi, bukan dia, jangan dia, akan selalu terselip dalam doa.

Minggu, 22 Mei 2016

Sudut Pandang (Part 2)

Aku sudah mendapatkan kelompok dengan anggota sebanyak 8 orang termasuk aku.  Hari ini aku akan bertemu dengan ketujuh anggota lainnya. Ada Rena, Tia, Meli, Denu, Nando, Rehan, dan Yoda. Aku datang terlambat dan menjadi yang paling akhir datang diantara yang lainnya. Okay, tidak ada yang aku kenal sama sekali, pikirku saat itu. Sesaat setelah datang dan berkenalan dengan seluruh kawan baru ini aku tak bisa menahan diri untuk mencoba melihat karakter mereka. Pandanganku tentang masing-masing dari kelompok ajaib ini…
Rena itu cantik, tipe gadis yang mudah menarik perhatian laki-laki, terlihat supel.
Tia itu manis, berkacamata, terlihat berwawasan luas, aktif dan juga supel.
Meli itu lebih pendiam diantara yang lainnya, manis, dan tergolong anak yang alim menurutku.
Denu berpenampilan agak urakan, tidak jelek, dan agak cuek.
Nando terlihat seperti calon pemimpin karena pembawaannya yang memang bisa mengontrol kami yang canggung saat pertemuan pertama ini.
Rehan cukup tampan, bisa berdandan bak mahasiswa gaul masa kini,dan sepertinya supel.
Yoda tergolong yang paling tampan dari tiga anggota laki-laki yang lain, tak banyak bicara, dan datang dengan jeans sobek-sobek super besar di bagian pahanya.
Setelah basa-basi yang diisi mengenai perkenalan kami satu sama lain, awal pertemuan kelompok ajaib pun siap dibubarkan, keempat anggota laki-laki memutuskan melanjutkan obrolan di lain tempat dan berjalan melewatiku, samar-samar dapat kucium aroma tubuh yang khas seperti laki-laki kemarin yang menabrakku. Aku mungkin sudah berhalusinasi atau mungkin takdir sedang mempermainkanku?

***

Aku datang hampir menjadi orang yang terakhir saat seorang anggota perempuan yang centil itu menyebut ada satu orang lagi yang belum datang. Aku yang memang malas dan baru pulang dari kerjaan lembur semalam mana sempat berganti baju, ku kenakan celana jeans sobek kesayanganku saat itu. Kuperhatikan setiap gadis pada kelompok unik ini. Ada si Rena yang canntik dan centil, Tia yang jutek dan terlihat pandai, Meli yang pendiam dan alim. Tak ada satupun dari mereka yang memenuhi harapanku, si gadis manis berkacamata kemarin. Serasa malas jadinya. Mana pula satu anak yang datang lebih terlambat dari aku itu, pikirku kesal.
“Maaf ya aku terlambat tadi macet soalnya..” suara anggota terakhir yang ditunggu tiba juga. Alasannya klasik sekali menurutku, sampai penasaran seperti apa orangnya. Kualihkan pandanganku pada orang yang datang tergesa-gesa di arah belakangku, sumber suara gadis yang minta maa tadi.

Pucuk dicinta ulampun tiba. Pepatah itu terngiang-ngiang dikepalaku seketika. Gadis manis berkacamata itu satu kelompok denganku. Takdirku memang sedang bagus. Sepanjang pertemuan itu aku asyik mengambil posisi paling pinggir dengan terus memandangi gadis pujaanku itu. Dia tersenyum, bibirkupun ingin tersenyum. Dia memperhatikan dengan serius anggota yang lain bicara, aku semakin tertarik dengannya. Aku rasa ini yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Walaupun aku tak percaya cinta semacam itu, kunikmati saja setidap debaran yang mendesir di dalam dada setiap kali menatapnya. Akan ku potret setiap ekspresi gadis manisku itu untuk mimpi malam ini. Tak akan kusia-siakan takdir ini, aku akan mendapatkannya. Nama calon gadisku itu, Zahra. 

Senin, 16 Mei 2016

Sudut Pandang (Part 1)

Hari itu matahari sudah berada di tengah langit, memancarkan sinarnya dengan anggun. Panas sekali. Aku yang sedang terpaksa berdiri di lapangan bersama mahasiswa lainnya hanya bisa pasrah. Sambil terus menyeka tetesan keringat yang mengucur, aku memperhatikan seorang laki-laki kurus ceking berjalan ke atas podium yang berada tepat di depan kami. Dia si bos-nya kami, sang ketua perkumpulan ini. Aku lupa apa saja yang disampaikan si ketua, Intinya, kami akan mengadakan sebuah acara amal untuk membantu adik-adik kecil usia sekolah dasar memiliki taman bacaan di daerah sekitar kampus. Tujuan yang mulia, realisasinya semoga benar-benar dapat berguna, pikirku waktu itu. Si ketua itu lanjut berbicara, kami yang jumlahnya banyak ini dan terdiri dari beragam jurusan dari seluruh fakultas kampus tercinta akan dibagi menjadi beberapa kelompok dan mendapat tugas mewujudkan taman bacaan pada beberapa tempat yang sudah ditentukan. Oh okay, pikirku lagi. Pertemuan itu tak lama kemudian ditutup, tentunya setelah si ketua menyampaikan beberapa teknis pembagian kelompok dan tanggung jawab masing-masing kelompok. Besok kelompok sudah dapat dilihat di forum online perkumpulan kami dan selebihnya menjadi tanggung jawab kelompok dalam membuat taman bacaan terlaksana dengan konsep yang kreatif sesuai hasil perundingan kelompok. Lega sekali saat kami dibubarkan, I feel free, batinku seakan ingin menjerit seperti itu.
Saat terjadi pembubaran yang tidak apik itu aku menabrak seorang laki-laki dengan wangi tubuh yang khas, tak sempat kulihat wajahnya kala itu. Pertemuan itu aan menjadi awal kisahku dengannya, si pemilik bau tubuh yang khas.

***

Di tengah keramaian dan orasi sang ketua perkumpulan, aku yang beridiri di barisan belakang dan merasa bosan menemukan sesuatu yang lebih menarik. Seorang gadis berkacamata beridiri sambil menyeka keringatnya, terlihat sekali kesal dengan situasi hari itu. Entahlah, dia tidak cantik luar biasa diantara gadis-gadis lain, tidak juga seksi karena dia mengenakan baju kebesaran yang menambah imut penampilannya. Dia tidak tinggi, tidak banyak bicara, manis, unik, dan entah mengapa aku menikmati memandanginya seperti ini. Saat perkumpulan ini dibubarkan sang ketua, aku agak tertegun karena memang aku tak memperhatikan. Tanpa sengaja arus manusia yang berlalu lalang tak tahan ingin meneduh ini menuntunku pada gadis berkacamata dan punggungku menabrak kepalanya, ini kesempatanku, pikirku. Baru saja aku akan mengajaknya bicara, seorang kawan menarik tanganku dan hilanglah dia dari pandanganku. Sebal sekali rasanya. Tapi kurasa aku akan bertemu dengan gadis itu lagi, batinku yakin sekali atau mungkin lebih tepatnya berharap sekali.

Senin, 25 April 2016

#SamaSaja

Sepertinya kamu sama saja seperti yang lainnya. Memilih meyerah di tengah jalan. Meninggalkan aku yang malang. Sayang sungguh disayang. Saatnya aku bilang, selamat jalan.
Untukmu yang memberiku mimpi tapi kemudian pergi. Untukmu yang memilih menjadi kenangan dibandingkan masa depan. Semoga kamu menyesal bahagia disana.

Sabtu, 23 April 2016

Dulu Vs Sekarang

Saat tumbuh dewasa, saya menyadari banyak hal. Bertanya lebih banyak, mengetahui banyak, dan merasa kerdil lebih sering. Ketika waktu berjalan, pemahaman saya tentang dunia pun ikut berkembang sejalan dengan pengetahuan dan peradaban yang saya rasakan. Menua bukan pilihan tapi sebuah keharusan. Seberapapun saya mencegah atau memperlambat penuaan dengan rangkaian perawatan maupun pikiran yang di-upgrade menjadi kekinian, sejatinya saya tetap bukan saya yang sama setiap detiknya. Seiring pertambahan usia setiap tahunnya, saya memahami satu hal. Hal paling berharga dari setiap waktu yang saya jajakan adalah memori. Setidaknya, dengan memori saya dapat mengenang, menangisi, menghardik, menertawakan, dan belajar memahami diri saya saat ini yang dibentuk oleh pengalaman saya dahulu, oleh memori saya itu. Saya menjadi lebih tegar dari pengalaman yang menyedihkan, menjadi lebih berani dari pengalaman yang memalukan, menjadi lebih rileks dari pengalaman yang menyenangkan, dan pada akhirnya saya menghargai diri saya yang dulu hingga saya yang sekarang.
Menakjubkan, bukan? Bagaimana pertambahan usia membuat saya bicara banyak bak motivator bijaksana. Membuat saya seakan tahu dunia. Padahal dunia yang saya sampai saat ini saya tahu hanya sebatas kota dimana saya dilahirkan dan kota saat saya merantau untuk kuliah, itu pun saya yakin tak pernah hafal setiap sudut jalanan di dua kota tersebut.
Dari semua yang terjadi dalam hidup saya, ada hal-hal yang amat saya rindukan, seperti masa-masa saat saya mempertanyakan kapan sekiranya rumus fisika dan matematika logaritma atau aljabar yang rumit itu dapat saya gunakan saat membeli jajanan di pasar, Masa dimana persoalan terberat yang saya pusingkan hanya sebatas rumus, sekolah, dan bermain. Singkatnya, kadang-kadang saya amat merindukan saya yang dulu. Walaupun hal itu sama sekali tak mengurangi penghargaan saya atas diri saya pada saat ini. You know, sometimes it happens, no matter how hard i try, i missed the old me. Just like that, just sometimes.
Mungkin itu terjadi karena saya merasa asing pada sesuatu yang baru saya alami. Semacam melihat sesuatu yang dulu tak pernah saya lihat namun kini menjadi jelas terpampang di mata saya saat dunia menganggap saya sudah cukup dewasa tanpa bertanya apakah saya ingin mengetahui atau tidak. Membuat saya menyadari sesuatu yang dahulu sering saya lihat dan yakini bukanlah sesuatu yang utuh hingga saat saya yang dewasa melihatnya lagi. Semacam meruntuhkan pandangan yang saya percayai sejak dahulu. Semua tidak lagi memesona dengan kesempurnaannya, tetapi menjadi lebih rasional.

Minggu, 21 Februari 2016

Selamat Lulus, Selamat Memasuki Dunia yang Sebenarnya.


Saya mahasiswa Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, Fakultas Ilmu Pendidikan Unversitas Pendidikan Indonesia angkatan 2011. Masa studi di jenjang strata satu alias S1 seharusnya dapat selesai dalam waktu empat tahun, artinya seharusnya saya sudah lulus menyandang gelar EsPeDe (S.Pd) sejak tahun lalu, tahun 2015. Tapi kenyataannya, yang mungkin memang sudah takdirnya, sudah nasibnya, baru kelar sidang tanggal 27 Januari lalu dan baru dapat yudisium tanggal 16 Februari kemarin (jangan tanya kenapa yudisiumnya lama, saya juga tidak tahu, ya begitulah pokoknya prosesnya).
Sebagai mahasiswa yang baru akan diwisuda april mendatang (ulala akhirnya wisuda juga, emak! Bapak! anakmu wisuda juga!) jangan tanya sudah berapa banyak kawan seangkatan yang sudah lulus duluan (mereka lebih beruntung aje itu mah HAHA) dan berapa kali diri ini mendatangi teman-teman saat wisuda, memberi mereka selamat, membelikan mereka bunga, dan menjawab “doakan saja” saat ditanya “kapan nyusul?”, ya begitulah.
Sebenarnya, tulisan saya kali ini dilatarbelakangi kerisihan (eh maksudnya keresahan) hati ini yang sudah disuruh-suruh diminta emak dan bapak untuk segera mencari gawean (kerjaan) biar tidak pengangguran. Iya itu wajar, iya itu biasa, iya saya maklum, tapi yah emak, bapak, punten ini mah, anakmu ini baru juga dapet yudisium kemarin bukan tahun lalu. Anakmu ini ingin napas dulu mak, pak. Hehehehe.
Ceritanya bermula ketika saya pulang kampung seminggu setelah sidang. Maksud hati ingin melepas rindu bertemu dan bercengkerama dengan keluarga di rumah setelah entah sudah berapa bulan diri ini tidak pulang (etdah lebay banget yak), namun yang terjadi diberondong pertanyaan seputar “apa yang akan saya lakukan setelah ini” (nah loh). Bukan apa-apa, saya kemarin-kemarin cuma tahu bahwa saya harus cepetan lulus, cepetan lepas dari status mahasiswa ini, cepetan. Itu saja. Ya walaupun saya tidak buta-buta banget mau ngapain setelah lulus ini tapi kok kayaknya agak eteb aja gitu udah langsung disuruh gawe. Ibarat perlombaan nih ya, saya disuruh kejar-kejaran lawan kereta api (ya keleuuuusss).
Saya jadi kepikiran perkataan senior-senior EsPeDe (mereka yang sudah lebih dulu lulus), kata mereka waktu saya masih pusing revisi dulu, “elu mah enak masih status mahasiswa, gue nih pengangguran, nikmatin aja revisinya, haha”. Sebal banget tuh dulu saya dengarnya. Ya kali ini saya sudah berasa mahasiswa paling tua di kampus, yang enggak ada jadwal kuliah, yang selalu mengejar-ngejar pembimbing, siang-malam di perpus (etdah lebay lagi yak), ya pokoknya gitu deh. Tapi ternyataaaa, mereka semua benar. Lebih enak jadi mahasiswa.
Bukan berarti ya, elu-elu semua gara-gara baca ini tulisan jadi pada nunda kelulusan, bukan gitu, hanya saja maksud saya tuh ye, elu-elu pade harusnya bersyukur dan menikmati setiap kehidupan sebagai mahasiswa. Masalah siapa yang lulus duluan, elu atau temen elu, santai aja bro dan sis (sambil terus berusaha ye tapi), lulus itu baru awal dari dunia nyata yang sesungguhnya (dunia emak dan bapak elu ngomel-ngomel minta elu cepet gawe). HAHAHAHA. Sekian. Wassalam. Bye!

Rabu, 10 Februari 2016

Malam Sebelum Sidang

Halo. Sudah sebulan saya belum ngepost tulisan baru. Apa kabar kalian? Sehat? Jasmani dan Rohani aman? Ada yang rindu tulisan saya? Semoga iya, kalau tidak, ya di-iya-kan sajalah. Please ini mah euy..please....
Oke kembali ke laptop eh maksudnya topik. Saya baiknya menulis apa ya. Sedang tidak mood menulis yang alay-alay atau sok puitis bin galau ala-ala. Pun sedang tidak ada ide menulis cerpen. Hmm.....
Oh ya, saya ada kabar gembira. Kabarnya adalah *jengjengjeng* akhirnya saya sidang juga! Iya sidang tugas akhir. Iya, sidang skripsi. Bukan sidang kasus Jes*ca atau sidang kasus perceraian artis R*sti dan St*art yang lagi hot wara-wiri beritanya di televisi. Bukan. Ini sidang biasa. Sidang skripsi saya, yang entah sudah berapa tahun eh bulan dikerjakan akhirnya kelar juga..
Yeeeay!! Keprok dulu atuh. Keprok barudaak. Akhirnya. Bahagia enggak mendengarnya? Ah terserah deh kalian bahagia atau tidak yang penting saya bahagia *lalayeyelalayeye*
Maapkan kealayan saya ini sebab untuk bisa sampai di tahap ini untuk ukuran saya dan standar ideal yang dipatok dosen jurusan bukan perkara mudah. Sekali lagi, tidak mudah. Dengan kata lain, susah. susah banget bro dan sis. Jangan tanya berapa banyak kucuran keringat mengalir tiap kali bolak-balik revisi, perizinan sana-sini dijutekin sana-sini (jurusan yang berhubungan sama manusia memang selalu ribet di bagian ini, sebabnya jelas, ini soal manusia, manusia tempatnya ribet, berubah-ubah, dan abu-abu alias tidak pasti), bimbingan diphp-in setiap kali janjian sama pembimbing, minta tolong sana-sini untuk meriksa tulisan saya yang apa adanya itu, proses pengambilan data di tiga tempat berbeda dan jauuuuuuh (bukan apa-apa, saya mahasiswi tanpa kendaraan, buta jalan, duit pas-pasan. Ngenes kan? haha), belum lagi musuh terbesar semua mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir, malas yang luaaar biasaaah. Begitu kira-kira. Untuk tulisan kali ini, saya ingin bercerita tentang malam sebelum saya sidang. Memangnya kapan saya sidang? Tepatnya hari rabu, 27 Januari 2016. Catet tuh! 
Jadi begini ceritanya kawan-kawan............
Malam harinya, selasa malam rabu, malam seribu kegalauan (biarkan kelebayan ini, tahan, jangan muntah dulu ya), saya tidak bisa tidur. TIDAK BISA. Hiks. Nah untuk kalian yang sedang mengerjakan skripsi dan ketika esoknya harus sidang tapi tidak bisa tidur saya punya beberapa tips. Cekidot...

  1. Belajar lagi. Saya belajar lagi, baca-baca skripsi yang saya tulis dengan limpahan doa orang tua dan air mata (kan lebay lagi, tahan, jangan muntah dulu ya). Hasil dari belajar itu cuma satu: GALAU. kesalahan-kesalahan kecil diskripsi saya yang kemarin-kemarin tidak kelihatan mendadak terpampang jelas di kedua mata saya. Sebel. Saya cuma bisa berdoa semoga besok penguji melewat halaman-halaman yang terdapat kesalahan itu. Ujung-ujungnya, doa lagi, pasrah lagi.
  2. Beres-beres kamar alias ngebabu. Bosan belajar yang justeru menghasilkan kegalauan, saya pun mencari kegiatan lain. Karena malam masih panjang, gelisah kian kencang, besok saya sidang. Memandang sekeliling kamar yang tidak layak disebut kamar ini akhirnya saya memutuskan membersihkan kamar. Ketika itu kalau tidak salah, jam sudah menunjukkan pukul 01.30 malam. Saya mencuci piring, merapikan tempat tidur, menyapu, merapikan kertas-kertas yang berserakan, buku-buku yang kini ada di segala penjuru di kamar berukuran kecil ini. Berisik? Pastinya. Apakah kamar lain terganggu? Berdoa saja semoga tidak. Ujung-ujungnya, doa lagi, pasrah lagi.
  3. Siapkan segala keperluan untuk sidang esok hari. Yap, saya menyiapkan ppt yang akan saya presentasikan besok, skripsi yang sudah saya beri catatan kalau-kalau ditanyakan oleh penguji, media lain seperti membuat tampilan ppt pada sebuah kertas karton besar, kalau-kalau listrik di kampus tiba-tiba mati dan ppt tak bisa ditampilkan (tak ada salahnya menyiapkan ini bro dan sis, kalau kata orang, sedia payung sebelum hujan. Tapi kembali ke masing-masing, mau ditiru silahkan, tidak pun tak apa).
Setelah semua sudah siap, mata masih belum bisa terlelap, dan matahari mulai nampak. Yap, akhirnya pagi. Malam yang sangat panjang. Sekadar saran kawan-kawan, teleponlah orang tuamu jika kamu anak rantau macam saya ini, kalau kamu tinggal dengan keluarga, bangun malamlah dan dirikan sholat malam bersama orang tua, minta doa restunya (betul? betul betul betul). Sebab, saya sudah membuktikan ini, ampuh sekali dampaknya, sidang saya lancar dan mulus semulus paha SNSD. Alhamdulillah.
Segala ketakutan yang semalam datang, hilang, saya berdiri dengan cukup percaya diri, memaparkan hasil karya tulis saya dengan cukup lancar, dan menjawab pertanyaan penguji sebisanya (ini sudah mulai grogi, kemampuan saya mencerna ucapan penguji mendadak melemah, pendengaran saya seolah menjauh. haha. Tapi semua sudah terlewati. Akhirnya). Saya berada di dalam ruang sidang kurang lebih 20 menit-an (kemungkinan saya cepat ada dua, pertama, tulisan saya begitu bagus dan penguji merasa puas, kedua, penguji malas membiarkan saya di dalam karena dianggap keliru). Untuk yang satu ini, saya lagi-lagi berdoa, semoga lulus. Itu saja.



Minggu, 24 Januari 2016

rin-du

aku punya rahasia kecil. rahasia yang tidak kamu tahu. rahasia yang akan aku jaga sampai nanti. karena aku tahu kamu tak sama lagi. iya, itu salahku menyia-nyiakanmu. tidak akan kuucapkan maaf sebab itu terkesan mengharap mu lagi. tidak, bukan karena aku benci, aku hanya ingin biarkan takdir yg menjawab. rahasia kecilnya? akan aku dengungkan jauh di dalam sanubari. rahasianya: aku rindu!

Minggu, 03 Januari 2016

Tembok Kamar

Gadis itu masih menangis. Tanpa suara. Tapi, tubuhnya bergetar hebat. Hari ini, gadis itu sudah tak tahan lagi. Semuanya emosi tumpah dalam tangisan itu. Seluruhnya. Gadis itu kecewa, untuk kesekian kalinya.
Aku hanya bisa diam. Tak tahu harus bagaimana. Maka diamlah aku dengan kaku dipojok kamar gadis itu. Menatapnya dengan nanar.
Biar kuingat, semuanya berawal dari setahun lalu kalau tak salah. Saat gadis itu mulai terlihat senyum-senyum sendiri bak orang gila, sibuk dengan telepon genggamnya tiap hari. Gadis itu terlihat sangat sumringah tiap hari, bersemangat setiap waktu, cekikian setiap malam. Kurasa gadis ini gila, awalnya. Sampai suatu waktu, aku melihatnya bersama seorang laki-laki bertubuh tinggi, badan kerempeng, kulitnya gelap, dan bergaya ala anak gaul jaman sekarang. Baiklah, baiklah, saat itu baru aku sadar. Gejala kegilaan gadis itu bukan penyakit jiwa tapi jatuh cinta. Dasar manusia. Gila dan jatuh cinta perbedaannya tipis ternyata.
Kisah gadis itu dan pria kerempeng itu berlanjut. Indah pada awalnya. Namun berubah perlahan-lahan setelahnya. Gadis itu mulai sering terlihat gelisah menatap telepon genggamnya setiap malam, cemberut setiap hari. Dasar manusia. Hatinya mudah berubah. Penasaran juga aku dibuat gadis itu. Sebenarnya ada apa sih.
Rasa penasaranku terjawab pada malam beberapa bulan lalu. Terjadi pertengkaran hebat antara gadis itu dan pria berkulit gelap yang membolak-balikkan hatinya. Tepat didepan mataku. Di kamar gadis itu. Barang-barang mulai melayang di sekitarku. Oke, ini sudah mulai mengerikan. Takut juga aku jadi korban salah sasaran dua sejoli yang memadu kasih itu. Si gadis itu menengadah, terlihat sekali menahan tangis. Pria bergaya ala anak gaul itu pun sudah dalam kondisi marah. Kata-kata seperti, selingkuh, genit, kenapa harus sahabatnya, merupakan kata-kata yang banyak keluar dari mulut si gadis itu. Sebaliknya, cuek, tidak perhatian, membosankan, dan dia yang merayu, merupakan kata-kata yang keluar dari si pria tinggi itu. Setelah keduanya lelah berargumen, sang laki-laki pergi meninggalkan gadis itu yang diam seribu bahasa. Tak ada tangis sama sekali. Untungnya, aku selamat dari kemungkinan jadi korban salah sasaran. Tubuhku masih utuh, tak ada memar. Malam itupun berlalu saat si gadis tertidur.
Setelah kejadian dramatis ala-ala malam itu, aku seperti kehilangan gadis itu yang biasa. Tak ada cemberut maupun tawa. Datar. Tanpa ekspresi. Kasihan, batinku turut berkomentar juga. Kupikir semuanya sudah berlalu antara gadis itu dan pria tinggi, kerempeng itu. Kupikir sekarang hanya butuh waktu yang menyembuhkan si gadis. Aku pikir.
Nyatanya, beberapa bulan setelahnya, disini aku berdiri, menatapnya menangis tersedu-sedu. Di depan sebuah undangan pernikahan.
Sementara aku, hanya bisa diam. Andai ada yang bisa dilakukan oleh tembok kamar sepertiku ini, selain hanya mendengar dan melihat apa yang terjadi pada tuannya, si pemilik kamar.

Sabtu, 02 Januari 2016

Candu

Sepertinya aku mulai candu. Ya, candu berbicara dengannya, mencuri lihat dirinya yang asyik bercengkerama dengan yang lain, atau bahkan hanya berdiri disampingnya yang lebih banyak diam saat bersamaku. Selamat untuknya tapi jelas ini petaka untukku. Petaka ini seperti sebuah paket misterius dari orang asing. Mungkin paket yang berisi bom waktu dan dapat meledak kapan saja, menghancurkan segalanya yang indah. Mungkin juga paket yang berisi sebuket bunga dan harumnya semakin membuat candu. Hasilnya sangat bergantung dari si orang asing itu.
Baiklah, bila boleh aku kesampingkan hasil akhirnya, aku akan menikmati petaka ini. Menikmati kecanduan ini. Membiarkan diriku dibuai harapan yang mungkin kuciptakan sendiri. Memang dasar aku sedang candu, tak kuindahkan logikaku.
Sekali lagi, selamat untuknya, kasihan untukku.