Aku berjalan berdampingan dengannya yang tinggi itu. Sebal rasanya menyadari tubuhku ini benar-benar pendek, apalagi saat berdiri di sebelah laki-laki jangkung itu. Saat itu hari sudah malam. Angin berhembus menembus kulitku. Kumasukkan kedua telapak tanganku ke dalam saku jaket. Dingin.
Dia tak banyak bicara, maklum dia bilang sedang tidak enak badan. Aku yang entah mengapa sangat bersemangat malam itu terus saja berbicara. Menceritakan hal yang kualami, konyol, dan tidak penting. Tapi dia tetap mendengarkan dengan sabar sambil sesekali mengusap hidupnya. Kurasa dia flu. Aku terus saja berbicara hingga tak terasa kami sudah sampai di depan rumahku. Dia berhenti. Aku juga. Dia tersenyum. Aku juga. Dipandangnya aku dan rumahku secara bergantian. Ku ikuti arah pandangnya. Ya, ya, aku tahu aku harus pulang dan kami akan berpisah dipersimpangan jalan depan rumahku. Ku belokkan arah tubuhku, sebisa mungkin terlihat tidak enggan pergi menjauh darinya.
Tapi kurasa gagal.
Sebelum tubuhku benar-benar berputar arah, dia tersenyum lagi, mengangkat tangan kirinya, dan mengusap-usap rambutku dengan tangan itu. Sebal. Dia pikir aku anak kecil. Ku belokkan arah tubuhku lalu berjalan menuju rumah. Senyum simpul tiba-tiba hadir begitu saja di bibirku. Ku rasa pipiku panas.
Ah, aku malu!
Tulisan-tulisan bertema kicauan penulis. Inspirasi datang darimana saja. Bisa juga dari kamu. Iya, kamu. Silahkan membaca jika berminat, jika tidak ya....baca sajalah sedikit ^^ v
Rabu, 30 Desember 2015
Abu-Abu
Kamu datang. Lalu Pergi. Datang Lagi. Pergi Lagi. Begitu saja terus. (Sampai dunia api menyerang :p)
Kamu itu terlalu abu-abu. Tidak jelas. Terasa tidak nyata.
Sementara aku terlalu hitam. Aku mungkin terlihat lebih jelas, tapi aku gelap. Terlalu gelap untukmu yang ragu-ragu.
Aku jelas bingung dengan tingkahmu. Tapi aku pun tak pernah benar-benar menahanmu.
Sebab aku pengecut. Begitupun denganmu.
Kita mungkin memang pengecut yang tak berani memberi warna jelas pada benang yang menguhubungkan kita berdua. Kita terlalu sibuk menjaga warna kita masing-masing. Membiarkan benang itu menggantung di tempat yang sama untuk waktu yang entah sampai kapan.
Aku mungkin seragu dirimu, tapi jika aku boleh berkilah, aku akan mengatakan pada dunia bahwa aku hanya bisa menunggu karena aku wanita. Perkara aku menunggumu atau tidak, dunia tak perlu tahu, begitupun denganmu. Atau sebenarnya, aku pun tidak tahu?
Kamu itu terlalu abu-abu. Tidak jelas. Terasa tidak nyata.
Sementara aku terlalu hitam. Aku mungkin terlihat lebih jelas, tapi aku gelap. Terlalu gelap untukmu yang ragu-ragu.
Aku jelas bingung dengan tingkahmu. Tapi aku pun tak pernah benar-benar menahanmu.
Sebab aku pengecut. Begitupun denganmu.
Kita mungkin memang pengecut yang tak berani memberi warna jelas pada benang yang menguhubungkan kita berdua. Kita terlalu sibuk menjaga warna kita masing-masing. Membiarkan benang itu menggantung di tempat yang sama untuk waktu yang entah sampai kapan.
Aku mungkin seragu dirimu, tapi jika aku boleh berkilah, aku akan mengatakan pada dunia bahwa aku hanya bisa menunggu karena aku wanita. Perkara aku menunggumu atau tidak, dunia tak perlu tahu, begitupun denganmu. Atau sebenarnya, aku pun tidak tahu?
Minggu, 04 Oktober 2015
Hope.
They said, "don't hope". But, I did it. I always say that it's okay as long as i'm happy. Yeah, I did it.
Time goes by..
The reality isn't sweet as a dream. Other than that, it really hit me on my face.
Then I realize, They're true. I shouldn't hope.
The good thing is that I know more about you and I experience the pain of hope.
By the way, I never gonna look back and I just want to live the present, yet still dream the future.
Rabu, 23 September 2015
Malam Takbiran
Malam ini takbir berkumandang dari seluruh penjuru dunia. Setidaknya, di sini, di lingkungan kos saya.
Malam ini sulit sekali saya memeluk malam dengan nyenyak. Setidaknya, sampai saat tulisan ini dibuat, tepat pukul dua dini hari.
Malam ini seharusnya saya sedang asik mengorok di kamar tidur kampung halaman. Setidaknya, saat-saat hari besar seperti ini, saat malam lebaran.
Malam ini, yang terjadi justeru, saya asyik menulis ini. Di bilik berukuran kecil yg saya sebut kamar kos, di kota rantau. Ditemani kawan senasib yg sedari tadi sudah jauh pergi ke alam mimpi.
Malam ini, malam menuju tanggal 24 september 2015, malam idul adha, malam saat saya bertambah tua.
Selamat malam.
Malam ini sulit sekali saya memeluk malam dengan nyenyak. Setidaknya, sampai saat tulisan ini dibuat, tepat pukul dua dini hari.
Malam ini seharusnya saya sedang asik mengorok di kamar tidur kampung halaman. Setidaknya, saat-saat hari besar seperti ini, saat malam lebaran.
Malam ini, yang terjadi justeru, saya asyik menulis ini. Di bilik berukuran kecil yg saya sebut kamar kos, di kota rantau. Ditemani kawan senasib yg sedari tadi sudah jauh pergi ke alam mimpi.
Malam ini, malam menuju tanggal 24 september 2015, malam idul adha, malam saat saya bertambah tua.
Selamat malam.
Selasa, 22 September 2015
#Sikap
Tak bisakah kau selalu ada? Karena aku lelah mencari alasan. Tak bisakah kau rasakan hal yang sama? Karena aku lelah menguntai harap. Tapi...
Bisakah aku bertahan? Karena kau mulai membosankan.
Jadi, jangan terlalu percaya diri.
Karena aku tak hanya punya hati. Aku juga miliki harga diri,
Rabu, 16 September 2015
#Bulan
Kau ingat? Kita pernah mengejar bulan bersama. Saat itu hari sudah sangat malam. Hanya ada aku, kau, dan ke-kaku-an kita yang sebelumnya tak pernah bertegur sapa. Anehnya, aku malah merasa hangat. Aku harap bulan di atas sana tak sedang menertawaiku. Sebab kau tau? Ada yang bergemuruh di dalam dada.
Sabtu, 05 September 2015
#Sibuk
Halo kamu yang sudah buat aku rindu. Bisakah kita
bertemu? Tapi kamu sibuk. Aku juga sibuk mikirin kamu yang sibuk. Pada akhirnya,
rindunya semakin menumpuk. Kamunya? Masih sibuk.
#Pertemuan
Aku bertemu kamu karena dia.. atau sebenarnya kamu
ingin betemu aku lewat dia? Bukan hal penting jawabannya. Toh, aku bertemu juga
dengan kamu. Iya, kamu. Kamu yang buat aku tertawa.
Oh, hey. Mari kita berkawan.
Siapa tahu… nanti bisa jadi lebih.
#Baper
Aku baper sama kamu. Kamu biasa saja.
Ah, tapi tak apa. Selama aku bahagia.
Apakah kamu bahagia? Aku tak tahu, tak mau tahu.
Karena jika
aku tahu, aku takut baper lagi, takut meminta lebih.
Cerita di Sore Itu. (Bagian 1)
Hari ini dia datang lagi.
Sendirian lagi… dan ekspresi wajah itu lagi.
Kau tau, ada yang lebih
aneh dari itu. Entah kenapa aku ke tempat ini lagi. Sangat aneh, sangat bukan
aku. Sebagian dari diriku mengatakan, rasa penasaranku terhadap orang itu yang
melangkahkan kaki ku kembali ke tempat ini. Sebagian lain, yang lebih terasa
seperti sifatku yang biasa ku kenal, menolaknya. Aku hanya sedang ingin makan
di tempat ini lagi. Itu saja. Begitulah seharusnya diriku. Tidak peduli dengan
orang lain.
Kau lebih percaya yang
mana?
Kuharap kau peraya yang
kedua. Sungguh, aku hanya ingin datang ke tempat ini karena makanannya enak. Sama
sekali tidak tertarik dengan gadis yang sedang duduk di samping jendela dengan
ekspresi wajah yang menyedihkan itu. Sama sekali tidak peduli dengan gadis yang
sudah dari seminggu ini kulihat selalu datang ke tempat ini duduk di tempat
yang sama, waktu yang sama, dan selalu dengan memesan makanan yang sama. Aku tidak
penasaran sedikitpun!
Hey, tapi, kau tahu, gadis
itu kurasa sudah gila atau dia memang benar-benar sudah ketagihan dengan
masakan restoran ini hingga tidak pernah melewatkan makan siangnya di tempat
ini. Ya, menu masakan berbahan ayam disini kuakui memang di atas rata-rata. Ah tapi
rasanya bukan itu alasannya datang kemari.
Oh ya, jangan kau pikir
aku peduli dengan tujuan gadis itu, ya, well, karena aku duduk terpisah tiga
meja dari depan gadis itu saja. Maka gadis itu terperhatikan oleh mataku ini.
Hari ini dia mengenakan
celana jeans berwarna navy, blouse cantik berwarna merah muda, dan mengenakan
flat shoes berwarna coklat. Ah, rambutnya kali ini ia biarkan tergerai indah. Kurasa
sebelumnya ia tak pernah menggerai rambutnya, ia lebih sering mengikat rambut
panjang bergelombangnya seperti ekor kuda.
Semakin lama diperhatikan,
gadis itu manis juga. Tapi, ekspresi wajahnya itu membuat jengkel saja. Bukan maksud
aku peduli, hanya saja jika memang dia sedang mengalami musibah atau kesulitan
entah apa dalam hidupnya, kurasa tak perlu juga ia murung setiap hari seperti
ini. Kau tahu, semua orang mempunyai masalah dalam hidup, bukan? Seperti juga
aku, seperti juga kamu, dan bermilyar orang di dunia ini pun mengalaminya. Tapi
ya seperti kata orang tua dahulu, hidup harus terus berjalan dan memang akan
terus berjalan, masalah biar saja jadi pengalaman hidup, pemberi warna baru
untuk hidup kita bukan justru jadi alasan kita untuk mengutuk keindahan hidup
ini. Eh tunggu, mengapa aku jadi berceramah begini? Sudahlah. Pokoknya seperti
itulah. Kau paham kan? Intinya, aku hanya kesal dibuat gadis itu, rasanya ingin
sekali kutarik tangannya yang terlihat kurus itu, mengajaknya melihat mentari
terbit di lepas pantai, senja di atas bukit, dan sendunya langit malam.
Sekarang aku malah
berkata-kata seperti penyair. Gadis itu benar-benar ya. Tadi membuatku seperti
penceramah yang shaleh, kemudian penyair yang bersahaja.
Aku bisa gila.
Baiklah, kuakui saja, aku
memang penasaran. Gadis itu cantik, menarik, dan membuatku penasaran. Tapi kurasa,
dia tak pernah menyadari kehadiranku. Sudah seminggu ini aku seperti penguntit
menungguinya melamun di restoran ini.
Sebenarnya siapa sih gadis
itu? Dan hey, kenapa pula aku selalu berdebar-debar setiap kali melihatnya.
Aku, Dio, si Penguntit mu gadis manis misterius di restoran
ujung jalan tempatku bekerja.
*****
“Dodi, sini deh!” ucap
seorang pelayan perempuan di restoran dengan menu andalan berbahan ayam kepada
pelayan lainnya.
“Ada apa, Sus?” pelayan
laki-laki yang dipanggil Dodi itu mendekati asal suara yang memanggil namanya.
“Lihat deh, laki-laki itu
ke sini lagi.” sahut pelayan perempuan yang sedang bersembunyi dari balik dapur
restoran.
“Maksud kamu yang mana?”
tanya Dodi tak mengerti.
“Itu yang duduk di
belakang, ah, empat meja dari jendela.” Suara pelayan perempuan itu kini
terdengar berbisik.
“Oh, maksudnya Pak Dio?”
sahut pelayan perempuan lain yang lebih besar badannya. Entah pelayan ini
datang dari mana.
Susi dan Dodi yang sedang
bercakap-cakap dengan suara pelan itupun sedikit terkejut. Kemudian ketiganya
asik bergosip lagi.
“Kamu bikin kaget aja La.”
Pelayan berbadan besar itu bernama Lala.
“Hehe. Habis kayaknya lagi
ngobrolin sesuatu yang seru jadi aku nimbrung.” Ucap Lala sambil cengengesan.
“Eh, kamu tahu nama laki-laki
yang duduk di situ?” sambut Dodi, berusaha mengembalikan perbinangan ke topik awal.
“Iya dong. Aku dapat
berita nih dari teman-teman lain.”
“Oh iya, kamu kan biang gosip.”
Susi berpura-pura tidak tahu dan menepuk jidatnya sendiri seolah-olah melupakan
kenyataan bahwa Lala adalah biang gosip itu kesalahan besar.
“Mau dengar ceritanya
tidak?” tanya Lala sambil cemberut, agak gusar dengan sebutan ‘biang gosip’
dari lawan bicaranya itu.
“Mau!!” jawab Dodi dan
Susi nyaris bersamaan.
“Sst. Jadi begini ceritanya….”
*****
“Diooo, kamu harus datang
jam 1 siang di tempat biasa ya, restoran di ujung jalan tempat kamu kerja itu
loh.”
“Iya. Iya, Tia sayang. Memangnya
ada apa sih?”
“Tuh kan, kamu kok lupa
sih? Hari ini kita ada janji ketemu sama wedding organizer.” Jawab perempuan
manis berambut panjang dari ujung telepon Dio yang sedang sibuk menahan tawa.
“Oh iya ya? Maaf ya
sayang, aku lagi banyak kerjaan nih jadi aku lupa. Iya nanti aku pasti datang. Sudah
dulu ya. Bye, sayang.” Dio segera menutup teleponnya kemudian tertawa kencang
sekali.
“Hahahaha.”
“Jahil banget Lu,
memangnya Lu ngerenanain apa?” tanya seorang laki-laki dengan tubuh tegap yang
sedang duduk di sebalah meja kerja Dio.
“Lu tahu kan, gue udah
pacaran lama sama Tia? Nah, hari ini tepat 2 tahun gue sama Tia pacaran. Jadi Gue
mau ngasih surprise.” Jawab Dio sambil masih menahan tawa.
“Yaelah Bro, Lu sama Tia
juga kan bentar lagi nikah.”
“Nah itu dia, momennya
pas. Tia itu suka banget sama cincin yang beberapa minggu lalu gue sama dia
lihat di toko perhiasan, sayangnya, itu cincin limited edition dan sudah
dipesan orang lain.”
“Maksud Lu, cincin buat
nikahan kalian?” tanya laki-laki itu mulai tertarik dengan cerita sahabatnya.
“Pinter banget sih Lu,
Satrio, sahabat Gue yang satu ini memang paling kece.” Jawab Dio sambil
menggoda Satrio, sahabatnya sejak masa kuliah.
“Lu mau lanjutin ceritanya
enggak, sih?” sahut Satrio, kesal mendengar jawaban Dio yang menguji rasa
penasarannya.
“Haha. Santai, Bro.
Sebenarnya, gue sudah mendatangi toko perhiasan itu lagi dan mohon supaya bisa
dicarikan model cincin yang sama, dan beberapa hari lalu gue dapat kabar
gembira. Cincinnya udah gue dapat.”
“Keren juga Lu.”
“Iye, tapi ya gue harus
bayar mahal. Haha.”
“Hahaha. Terus rencana
surprisenya gimana?”
“Gue mau sekalian ngelamar
dia secara formal di depan banyak orang di restoran itu. Kemarin kan pas gue
ngelamar dia, enggak ada proses lamaran yang spesial gitu.” Wajah Dio mulai
bersemu dan menyembulkan senyuman.
“Gue enggak nyangka,
sahabat gue ini punya sisi romantis juga ya?” ucap Satrio sambil tertawa.
“Bebas deh Lu boleh
ketawain gue, awas aja nanti juga Lu bakal lebih romantis dari Gue kalau Lu
udah nemuin seseorang yang bikin Lu yakin kalau she’s the one that you’re looking for.”
“Aduh…duh…gue merinding
dengernya. Hahaha.”
Jengkel diledek oleh sahabatnya sendiri, Dio pun keluar dari
tempat kerjanya dan bergegas menyiapkan ‘proses lamaran romantis’ untuk Tia,
calon istrinya.
*****
to be continued
Minggu, 15 Februari 2015
Tentang Malam
Aku selalu suka malam
Aku suka bulan yang tampak angkuh di atas sana
Aku suka bintang-bintang yang kini cahayanya beradu
dengan lampu-lampu kota
Aku suka langit yang menampilkan sisi gelapnya
Aku suka malam
Terlebih karena kebisuannya
Sebab bisunya malam menambah sesak rindu
Mengungkung kenangan
Dan memenjarakan rasa
Aku selalu merindukan malam
Saat aku dapat menyambutmu
Saat aku dapat menguntai cerita tentangku dan
tentangmu
Saat hadirmu terasa begitu sempurna
Saat-saat aku terlelap dalam tidurku
Sabtu, 14 Februari 2015
Serba-Serbi PPL
Hello, pembaca sekalian. Kali ini saya tidak akan
membahas tema perasaan, cerpen, atau cerita fiksi lain seperti yang biasanya
saya tulis. Bukan, bukan karena saya lagi jomblo jadi tidak ada inspirasi (loh
kok curhat? :p). Yah, alasannya hanya karena saya lagi bosan. Bosan. Bosan.
Iya, bosan.
Nah sekadar informasi, saya ini salah satu mahasiswa
tingkat a.....khir (berat nih harus
mengakuinya) di salah satu universitas keguruan di Bandung. Alhasil,
semester delapan ini saya mengontrak mata kuliah PPL alias Program Praktek
Lapangan. Setelah melewati beragam proses yang agak sedikit ribet, saya pun
ditempatkan di sekolah negeri yang ada di Bandung. Hari pertama datang ke
sekolah, kelompok PPL saya ditemani dosen-dosen yang bermaksud “menyerahkan”
kami (saya dan kawan-kawan senasib – satu kelompok ppl) kepada pihak sekolah.
Pada hari itu juga kami dicermahi diberitahukan etika, tata cara, dan
peraturan-peraturan di lembaga yang akan kami tempati selama empat bulan
tersebut. Cukup menarik.
Sampai pada saya mengupload tulisan ini, saya dan
kawan-kawan senasib – sekelompok – berhasil
melalui tugas selama tiga minggu. Iya terdengar sebentar memang, tapi terasa lama
bagi kami (oke, minimal bagi saya
deh).
Bukannya tidak senang, bukan. Mungkin saya hanya
belum terbiasa. Belum terbiasa bangun pagi kemudian mandi setelah beres sholat
subuh, belum terbiasa menyiapkan layanan yang akan diberikan, belum terbiasa
berjaga di ruang piket, belum terbiasa memakai sepatu hak tinggi (aseli terkewer-kewer ini capek banget! Kagak
ngarti gua sama cewek yang tahan make sepatu sinting hak tinggi
lama-lama begitu), dan belum tebiasa-belum terbiasa lainnya.
Perkara pengalaman, ini menarik sekali. Saya memang
sudah sering praktek di lapangan (sekolah-sekolah) sejak semester awal, entah
itu demi tugas-tugas dari dosen tercinta, atau memang tuntutan dari mata kuliah
yang praktikum. Bukan maksud sombong, bukan, ini karena memang begitu cara
dosen kami melatihnya. Jadi berhadapan dengan siswa bukan hal baru buat saya
(ceilah) setidaknya tidak membuat saya terlalu nervous, kira-kira begitu. Tapi PPL memang berbeda dari praktikum
biasa, ada banyak pengalaman baru. Saya juga bisa lebih mengenal siswa yang
saya bina dengan lebih dalam karena saya datang ke sekolah hampir setiap hari,
saya belajar kegiatan lain yang biasa bapak-bapak dan ibu-ibu guru lakukan di
sekolah, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sekolah, mengikuti upacara (yang entah kapan terakhir saya mengikuti upacara), struktur organisasi dan
sistem dari lembaga yang saya tempati, permasalahan yang dihadapi siswa,
karakteristik umum siswa tiap kelas, dan problematika lainnya. Semuanya jadi
terasa lebih nyata dibandingkan praktek dan observasi yang saya lakukan saat
perkuliahan dahulu.
So, secara keseluruhan PPL ini menarik. Menarik sekali.
Masih ada sekitar 3 bulan lebih lagi saya dan kawan-kawan menjalani PPL dan
saya cukup penasaran ada hal-hal apalagi yang akan saya alami, rasakan, dan
pelajari J
Sabtu, 07 Februari 2015
Urusan Hati
Rindu yang dirasakannya menggelayut manja pada pengharapan tak bergaransi.
Pengharapan yang sewaktu-waktu bisa jadi hancur seketika....
atau justeru semakin menggembung, melambung tinggi....
Rindu yang dialamatkan pada Seseorang yang bahkan mungkin tak pernah tahu ada yang mengirimkannya sesuatu.
Seseorang, yang terlampau sibuk dengan dunianya yang hebat itu.
Seseorang yang terlena dengan megah dan sempurnanya dirinya. Baginya.
Kehebatan cinta akan dunianya yang begitu istimewa, yang sanggup membungkamnya dengan sempurna. Cinta hebatnya yang menutupi semua pandangannya terhadap orang yang sedang menyandarkan harapan kepada dirinya.
Harapan yang sudah lama menanti dalam bisu.
Meski dirinya dilewatkan, meski rindu yang dirasakannya sendiri begitu menyiksa, meski puing-puing harga dirinya luruh seiring berjalannya waktu......
Dia masih saja merindu
Masih saja memelihara pengharapan
Mungkin saja dia memang menikmatinya.
Hingga pada titik bahagia dan terluka hanya setebal benang saja.
Apakah itu....
Cinta apa adanya?
Dia menggeleng.
Bukan.
Dia rasa itu tidak benar.
Dia justeru berpikir bahwa dia sangat bodoh
Bodoh sekali.
Beberapa menit dia merenung,
kemudian tersenyum penuh arti.
Oh. Hey.
Dia lupa, urusan hati memang seharusnya dirasa, bukan dipikir.
Ya.
Dirasakan.
Pengharapan yang sewaktu-waktu bisa jadi hancur seketika....
atau justeru semakin menggembung, melambung tinggi....
Rindu yang dialamatkan pada Seseorang yang bahkan mungkin tak pernah tahu ada yang mengirimkannya sesuatu.
Seseorang, yang terlampau sibuk dengan dunianya yang hebat itu.
Seseorang yang terlena dengan megah dan sempurnanya dirinya. Baginya.
Kehebatan cinta akan dunianya yang begitu istimewa, yang sanggup membungkamnya dengan sempurna. Cinta hebatnya yang menutupi semua pandangannya terhadap orang yang sedang menyandarkan harapan kepada dirinya.
Harapan yang sudah lama menanti dalam bisu.
Meski dirinya dilewatkan, meski rindu yang dirasakannya sendiri begitu menyiksa, meski puing-puing harga dirinya luruh seiring berjalannya waktu......
Dia masih saja merindu
Masih saja memelihara pengharapan
Mungkin saja dia memang menikmatinya.
Hingga pada titik bahagia dan terluka hanya setebal benang saja.
Apakah itu....
Cinta apa adanya?
Dia menggeleng.
Bukan.
Dia rasa itu tidak benar.
Dia justeru berpikir bahwa dia sangat bodoh
Bodoh sekali.
Beberapa menit dia merenung,
kemudian tersenyum penuh arti.
Oh. Hey.
Dia lupa, urusan hati memang seharusnya dirasa, bukan dipikir.
Ya.
Dirasakan.
Senin, 19 Januari 2015
Ketidakpastian yang Pasti
Dalam
hidup ada yang datang dan ada pula yang pergi. Seseorang yang saat ini begitu
dekat bisa jadi terasa begitu asing pada kemudian hari. Seseorang yang amat
dibenci saat ini bisa jadi terasa begitu penting di kemudian hari. Tak ada yang
abadi. Tak ada yang pasti.
Datang
dan pergi. Sesuatu hal yang biasa terjadi. Kadang tanpa disadari kedatangan dan
kepergian seseorang berlalu begitu saja,
kadang justeru terasa berat dijalani. Semua bergantung dari seberapa besar
seseorang itu menempati ruang dalam hati. Bisa jadi saat datang seseorang
menempati ruang cukup besar tapi kemudian menyempit hingga saat orang itu pergi
tak banyak meninggalkan bekas. Bisa jadi terbalik, seseorang datang hanya
seperti tamu yang singgah kemudian menginap dan akhirnya menempati ruang besar sehingga
saat pergi orang itu juga meninggalkan bekas yang dalam, ruang yang kosong
dalam hati. Sekali lagi. Tak ada yang abadi. Tak ada yang pasti.
Benarkah
tak ada yang abadi? Tak ada yang pasti?
Ya,
kecuali sang Pencipta, pemilik semesta.
Manusia?
Jelas
tak abadi. Soal kepastian, hati manusia itu senantiasa berubah-ubah, rumit,
bahkan kita saja kadang tak paham apa yang kita rasa, apa yang kita mau, apa
yang kita butuhkan. Sama sekali tidak pasti. Ya. Apalah kita yang bahkan tak
sadar tiap harinya menua, sedikit demi sedikit berubah. Hingga orang-orang yang
dulunya pernah ada dalam hidup kita, mereka yang sudah lama pergi, datang
kembali. Boleh jadi, mereka hanya datang untuk sekadar menyapa kita, masa
lalunya, atau mereka memang akan kembali menjadi bagian hidup kita. Orang-orang
itu mungkin akan menemukan kita yang berbeda dari saat dulu mereka mengenal
kita, mengatakan bahwa kita berubah. Tapi rasanya kita ingin membantah itu dan
balik berkata bahwa merekalah yang berubah, begitu asing dimata kita.
Tampaknya
kita lupa, waktu tak pernah berhenti.
Daun
yang hijau pun akan menguning, bunga yang kuncup akan mekar, matahari yang
terbit pun akan terbenam.
Semua
ada waktunya, ada masanya.
Kedatangan
dan kepergian orang-orang dalam hidup kita adalah perubahan yang dijanjikan
waktu.
Perbedaan
yang ada, disadari atau tidak, justeru mengindahkan kehidupan.
Pelangi
saja tampak menakjubkan dari ketujuh warnanya yang berbeda, sementara ulat
tampak mempesona setelah berubah menjadi kupu-kupu.
Tetap
tidak terima dengan perbedaan dan perubahan?
Silahkan
saja buat dunia jadi seragam.
Langganan:
Postingan (Atom)