Hari ini dia datang lagi.
Sendirian lagi… dan ekspresi wajah itu lagi.
Kau tau, ada yang lebih
aneh dari itu. Entah kenapa aku ke tempat ini lagi. Sangat aneh, sangat bukan
aku. Sebagian dari diriku mengatakan, rasa penasaranku terhadap orang itu yang
melangkahkan kaki ku kembali ke tempat ini. Sebagian lain, yang lebih terasa
seperti sifatku yang biasa ku kenal, menolaknya. Aku hanya sedang ingin makan
di tempat ini lagi. Itu saja. Begitulah seharusnya diriku. Tidak peduli dengan
orang lain.
Kau lebih percaya yang
mana?
Kuharap kau peraya yang
kedua. Sungguh, aku hanya ingin datang ke tempat ini karena makanannya enak. Sama
sekali tidak tertarik dengan gadis yang sedang duduk di samping jendela dengan
ekspresi wajah yang menyedihkan itu. Sama sekali tidak peduli dengan gadis yang
sudah dari seminggu ini kulihat selalu datang ke tempat ini duduk di tempat
yang sama, waktu yang sama, dan selalu dengan memesan makanan yang sama. Aku tidak
penasaran sedikitpun!
Hey, tapi, kau tahu, gadis
itu kurasa sudah gila atau dia memang benar-benar sudah ketagihan dengan
masakan restoran ini hingga tidak pernah melewatkan makan siangnya di tempat
ini. Ya, menu masakan berbahan ayam disini kuakui memang di atas rata-rata. Ah tapi
rasanya bukan itu alasannya datang kemari.
Oh ya, jangan kau pikir
aku peduli dengan tujuan gadis itu, ya, well, karena aku duduk terpisah tiga
meja dari depan gadis itu saja. Maka gadis itu terperhatikan oleh mataku ini.
Hari ini dia mengenakan
celana jeans berwarna navy, blouse cantik berwarna merah muda, dan mengenakan
flat shoes berwarna coklat. Ah, rambutnya kali ini ia biarkan tergerai indah. Kurasa
sebelumnya ia tak pernah menggerai rambutnya, ia lebih sering mengikat rambut
panjang bergelombangnya seperti ekor kuda.
Semakin lama diperhatikan,
gadis itu manis juga. Tapi, ekspresi wajahnya itu membuat jengkel saja. Bukan maksud
aku peduli, hanya saja jika memang dia sedang mengalami musibah atau kesulitan
entah apa dalam hidupnya, kurasa tak perlu juga ia murung setiap hari seperti
ini. Kau tahu, semua orang mempunyai masalah dalam hidup, bukan? Seperti juga
aku, seperti juga kamu, dan bermilyar orang di dunia ini pun mengalaminya. Tapi
ya seperti kata orang tua dahulu, hidup harus terus berjalan dan memang akan
terus berjalan, masalah biar saja jadi pengalaman hidup, pemberi warna baru
untuk hidup kita bukan justru jadi alasan kita untuk mengutuk keindahan hidup
ini. Eh tunggu, mengapa aku jadi berceramah begini? Sudahlah. Pokoknya seperti
itulah. Kau paham kan? Intinya, aku hanya kesal dibuat gadis itu, rasanya ingin
sekali kutarik tangannya yang terlihat kurus itu, mengajaknya melihat mentari
terbit di lepas pantai, senja di atas bukit, dan sendunya langit malam.
Sekarang aku malah
berkata-kata seperti penyair. Gadis itu benar-benar ya. Tadi membuatku seperti
penceramah yang shaleh, kemudian penyair yang bersahaja.
Aku bisa gila.
Baiklah, kuakui saja, aku
memang penasaran. Gadis itu cantik, menarik, dan membuatku penasaran. Tapi kurasa,
dia tak pernah menyadari kehadiranku. Sudah seminggu ini aku seperti penguntit
menungguinya melamun di restoran ini.
Sebenarnya siapa sih gadis
itu? Dan hey, kenapa pula aku selalu berdebar-debar setiap kali melihatnya.
Aku, Dio, si Penguntit mu gadis manis misterius di restoran
ujung jalan tempatku bekerja.
*****
“Dodi, sini deh!” ucap
seorang pelayan perempuan di restoran dengan menu andalan berbahan ayam kepada
pelayan lainnya.
“Ada apa, Sus?” pelayan
laki-laki yang dipanggil Dodi itu mendekati asal suara yang memanggil namanya.
“Lihat deh, laki-laki itu
ke sini lagi.” sahut pelayan perempuan yang sedang bersembunyi dari balik dapur
restoran.
“Maksud kamu yang mana?”
tanya Dodi tak mengerti.
“Itu yang duduk di
belakang, ah, empat meja dari jendela.” Suara pelayan perempuan itu kini
terdengar berbisik.
“Oh, maksudnya Pak Dio?”
sahut pelayan perempuan lain yang lebih besar badannya. Entah pelayan ini
datang dari mana.
Susi dan Dodi yang sedang
bercakap-cakap dengan suara pelan itupun sedikit terkejut. Kemudian ketiganya
asik bergosip lagi.
“Kamu bikin kaget aja La.”
Pelayan berbadan besar itu bernama Lala.
“Hehe. Habis kayaknya lagi
ngobrolin sesuatu yang seru jadi aku nimbrung.” Ucap Lala sambil cengengesan.
“Eh, kamu tahu nama laki-laki
yang duduk di situ?” sambut Dodi, berusaha mengembalikan perbinangan ke topik awal.
“Iya dong. Aku dapat
berita nih dari teman-teman lain.”
“Oh iya, kamu kan biang gosip.”
Susi berpura-pura tidak tahu dan menepuk jidatnya sendiri seolah-olah melupakan
kenyataan bahwa Lala adalah biang gosip itu kesalahan besar.
“Mau dengar ceritanya
tidak?” tanya Lala sambil cemberut, agak gusar dengan sebutan ‘biang gosip’
dari lawan bicaranya itu.
“Mau!!” jawab Dodi dan
Susi nyaris bersamaan.
“Sst. Jadi begini ceritanya….”
*****
“Diooo, kamu harus datang
jam 1 siang di tempat biasa ya, restoran di ujung jalan tempat kamu kerja itu
loh.”
“Iya. Iya, Tia sayang. Memangnya
ada apa sih?”
“Tuh kan, kamu kok lupa
sih? Hari ini kita ada janji ketemu sama wedding organizer.” Jawab perempuan
manis berambut panjang dari ujung telepon Dio yang sedang sibuk menahan tawa.
“Oh iya ya? Maaf ya
sayang, aku lagi banyak kerjaan nih jadi aku lupa. Iya nanti aku pasti datang. Sudah
dulu ya. Bye, sayang.” Dio segera menutup teleponnya kemudian tertawa kencang
sekali.
“Hahahaha.”
“Jahil banget Lu,
memangnya Lu ngerenanain apa?” tanya seorang laki-laki dengan tubuh tegap yang
sedang duduk di sebalah meja kerja Dio.
“Lu tahu kan, gue udah
pacaran lama sama Tia? Nah, hari ini tepat 2 tahun gue sama Tia pacaran. Jadi Gue
mau ngasih surprise.” Jawab Dio sambil masih menahan tawa.
“Yaelah Bro, Lu sama Tia
juga kan bentar lagi nikah.”
“Nah itu dia, momennya
pas. Tia itu suka banget sama cincin yang beberapa minggu lalu gue sama dia
lihat di toko perhiasan, sayangnya, itu cincin limited edition dan sudah
dipesan orang lain.”
“Maksud Lu, cincin buat
nikahan kalian?” tanya laki-laki itu mulai tertarik dengan cerita sahabatnya.
“Pinter banget sih Lu,
Satrio, sahabat Gue yang satu ini memang paling kece.” Jawab Dio sambil
menggoda Satrio, sahabatnya sejak masa kuliah.
“Lu mau lanjutin ceritanya
enggak, sih?” sahut Satrio, kesal mendengar jawaban Dio yang menguji rasa
penasarannya.
“Haha. Santai, Bro.
Sebenarnya, gue sudah mendatangi toko perhiasan itu lagi dan mohon supaya bisa
dicarikan model cincin yang sama, dan beberapa hari lalu gue dapat kabar
gembira. Cincinnya udah gue dapat.”
“Keren juga Lu.”
“Iye, tapi ya gue harus
bayar mahal. Haha.”
“Hahaha. Terus rencana
surprisenya gimana?”
“Gue mau sekalian ngelamar
dia secara formal di depan banyak orang di restoran itu. Kemarin kan pas gue
ngelamar dia, enggak ada proses lamaran yang spesial gitu.” Wajah Dio mulai
bersemu dan menyembulkan senyuman.
“Gue enggak nyangka,
sahabat gue ini punya sisi romantis juga ya?” ucap Satrio sambil tertawa.
“Bebas deh Lu boleh
ketawain gue, awas aja nanti juga Lu bakal lebih romantis dari Gue kalau Lu
udah nemuin seseorang yang bikin Lu yakin kalau she’s the one that you’re looking for.”
“Aduh…duh…gue merinding
dengernya. Hahaha.”
Jengkel diledek oleh sahabatnya sendiri, Dio pun keluar dari
tempat kerjanya dan bergegas menyiapkan ‘proses lamaran romantis’ untuk Tia,
calon istrinya.
*****
to be continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar