Langit senja mulai berganti pekat, menambah sesak
luka yang kian menjerat. Aku duduk manis di bangku pengantar memori masa lalu
tentang sesosok makhluk yang begitu melekat, di bawah langit yang pekatnya
terasa dekat. Sepotong kisah ini tak akan pernah menjadi utuh tanpa kehadiran
tokoh utamanya, tokoh yang begitu memikat. Entah dia begitu egois atau aku yang
terlalu melankolis.
Setahun lalu, tepat di tempat yang sama dan waktu
yang sama. Tepat di bukit yang sama dan senja yang sama. Bedanya, saat senja
berganti pekat, dulu terasa hangat. Itu saja. Itu saja perbedaannya.
*****
“Aku selalu suka tempat ini, terlebih lagi, senja
ini.” Ucapnya dengan seulas senyum tipis.
“…”
Aku tersihir keindahan senyuman itu dan tak berkata apa-apa.
“Kamu
enggak tanya kenapa?” Dia tersenyum
lagi. Kali ini lebih mengembang. Membuat aku semakin tersihir.
Tiba-tiba
dia menoleh ke arahku. Memicingkan sebelah matanya, membuat alisnya yang indah
menjadi berkerut serta menampakkan wajah penuh tanya. Aku tersadar, tadi dia
bertanya padaku. Dengan gugup aku menjawab, “Oh, emangnya kenapa?” Kerutan alisnya menghilang, berganti senyuman
dengan memamerkan deretan giginya yang indah. Oh Tuhan, kenapa seyumannya
begitu menawan? Membuat aku tersihir berkali-kali. Lebih dari itu, aku
bersyukur. Karena keindahan ciptaan-Mu itu adalah laki-lakiku. Cinta pertamaku.
Seakan
ditarik kembali dari dunia imajinasiku, aku mendengarkan setiap kata yang
keluar dari mulutnya.
“Karena
kamu mau tahu, aku akan menunjukkannya untuk
kamu.”
“…”
Bingung, aku hanya menatapnya penuh tanya.
“Coba
kamu tutup mata…” disentuhnya tanganku dengan lembut dan meletakkannya di
mataku. Aku hanya menurut.
“Sekarang,
coba kamu rasakan setiap hembusan
anginnya.” Dengan patuh, aku mencoba merasakannya. Merasakan setiap hembusan
angin yang menerpa wajahku, menggerakkan helai demi helai rambutku yang
tergerai, dan hembusan yang seakan membisikkan sesuatu di telingaku.
“Aku
sayang kamu.”
Kubuka
mataku, tertegun atas apa yang aku dengar tadi. Saat aku menoleh ke arahnya, ku
dapati pemandangan yang begitu menawan. Menyilaukan segenap rasa yang selama
ini tertahan. Tertahan akan keadaan. Dua tahun tak bertemu membuat rindu ini
tertahan. Pemandangan itu adalah dia.
Dia dengan segala pesonanya sedang duduk bersandar di bangku tepat di
sampingku, menatap langit, menerka jalan mana yang akan ditempuh. Keindahan itu
tak berhenti sampai di situ, pantulan sinar matahari senja menjelang pekat yang
mengenai tubuhnya memancarkan kesejukkan yang nyata di depan mata ini. Masih
tertegun, kurasakan dentuman dari dalam dada. Begitu nyaring dan cepat.
“Aku
selalu suka tempat ini karena tempat ini selalu bisa mebuatku tenang.
Pemandangannya, pohonnya yang hijau. Dan tentunya senja di sini menambah
keindahan yang ada di tempat ini. Langit senja dan tempat ini adalah kombinasi
yang selalu bisa membuatku nyaman dan tenang. Hebatnya lagi, saat ini, di sini,
ada kamu. Menjadikan hal terindah dan semakin istimewanya tempat ini untuk aku.”
Dapat
aku pastikan, kedua pipiku memerah saat itu juga. Tanpa sadar aku tersenyum
mendengar setiap perkataannya. Apa itu benar atau hanya gombalan, aku tidak peduli lagi. Mendengar semua itu darinya sudah
membuat aku bahagia.
“Nala….”
Wajahnya tiba-tiba saja berubah menjadi sendu, Ia turunkan sandaran di
bangkunya. Tampak jelas ada sesuatu yang besar yang dipikirkannya dan itu
mengganggunya. Detik itu juga aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Sesuatu yang bisa menghancurkan
segala keindahan hidupku saat ini. Ah, ya. Aku ingat. Dia mengajakku ke tempat
ini untuk membicarakan sesuatu. Membicarakan aku, dia, kita.
“Ada
apa, Tra? Apa ada sesuatu yang enggak
beres?” Kubalikkan tubuhku mengarah padanya yang terduduk lesu. Menatapnya
dalam-dalam, menuntut penjelasan.
“Aku…”
Ia tegakkan duduknya dan menutup matanya, seakan memikiran apa yang harus
dikatakannya. Sesaat kemudian Ia mencoba menatapku. Tapi, baru saja mata kita
bertemu, Ia menundukkan kepalanya dan meremas rambutnya. Tampak frustasi.
“Shit!! Apa yang udah gue lakukan?!” Tiba-tiba
saja Ia marah, marah pada dirinya sendiri.
“Ada
apa sih Putra? Memangnya apa yang kamu lakukan?” Aku tahu
ini pasti sesuatu yang buruk. Tapi aku mencoba untuk tenang. Aku harus tahu apa
yang sebenarnya terjadi.
Tanpa
berani menatap lurus mataku, Ia tampak mengatur napas dan mencoba mengatakan
sesuatu yang sedari tadi aku tunggu.
“Aku
sayang kamu. Aku cinta sama kamu. Sangat. Aku mau kamu tahu itu, Nala.”
“Aku
juga sayang kamu Putra dan aku juga masih enggak
percaya kamu bisa suka sama aku.” Muncul senyum simpul dari bibirku. Malu.
Tapi tiba-tiba aku mendengar tarikan napas lelah darinya. Ini membuatku bingung.
“Haaaa….”
Ada jeda sejenak sebelum ia melanjutkan perkataannya. “Kamu harus percaya aku
sayang sama kamu. Dan rasa ini besar, besar sekali Nala. Kamu itu sangat
berharga, jadi please berhenti mikir
kalau kamu beruntung pacaran sama aku karena sebenarnya akulah yang beruntung bisa
mendapatkan kamu.”
“Hahaha,
iya iya. Kamu beruntung. Aku juga beruntung. Jadi kita sama-sama beruntung ya,
impas kan? Aku kira kamu mau ngomongin
apa ternyata cuma ini.” Segelintir perasaan lega mengalir dari hatiku.
“…”
Ia tak merespon apa-apa.
“Yaudah
kita pulang yuk, udah mau gelap nih.” Baru saja aku berdiri dari bangku, tanganku
digenggamnya. Seketika aku menoleh menatap wajahnya.
“Kita
harus putus.” Kata-katanya singkat, padat, dan… mencekat.
Entah
apa yang merasuki Putra, kenapa dia bisa tiba-tiba berkata seperti itu. Aku tahu
dia jahil, tapi ini gak lucu sama sekali.
“Jangan
becanda deh, udah yuk”
“Aku
serius. Kita harus putus, Nala.”
Aku
menatapnya tajam, ada kelelahan yang tampak jelas di matanya. Ini bukan
gurauan. Hatiku seakan dipatahkan menjadi dua. Aku harus tahu alasannya.
Kujatuhkan tubuhku kembali duduk di bangku yang tadi.
“Kenapa?
Kenapa Putra? Setelah apa yang barusan kamu bilang, sekarang kamu minta putus?
Kenapa? Apa aku melakukan kesalahan?” Aku tahu mata ini mulai berkaca-kaca,
tapi aku tak akan menangis. Tidak boleh.
“Ini
sama sekali bukan kesalahan kamu, ini karena aku sayang sama kamu.”
“Bisa
tolong berhenti ngomong sesuatu yang omong kosong? Aku butuh penjelasan.”
“Maaf
Nala. Ini semua memang salah aku. Tapi aku benar-benar sayang kamu.” Tangannya
mencoba menggenggam tanganku, namun kutepiskan dengan cepat. Omong kosong apa
ini?
“Terus
kenapa kita harus putus!? Kalau kamu sayang aku, terus kenapa? Kenapa? Kena…”
“Aku
menghamili Citra!!”
“…”
Seakan disambar petir, aku terdiam. Geram. Tak percaya dengan apa yang kudengar
barusan.
“Seperti
yang kamu tahu, sudah dua tahun ini aku dan Citra kuliah di Ausie dan….dan semuanya terjadi begitu
saja Nal, di luar kendali aku.”
“Kenapa
Citra? Kenapa sahabat aku?! Di luar kendali katamu, ha? Apa kalian enggak mikirin aku di sini? Kamu enggak mikirin aku? Dua tahun di Ausie enggak sebanding dengan 5 tahun pacaran kita!” Aku tak tahan lagi.
Air mataku pun mengalir, deras sekali. “…aku jadi ngerasa bego, bego banget! Dengan tololnya, aku nungguin kamu tapi
kamu malah senang-senang. Parahnya lagi sama sahabat aku. Aku memang benar-benar
tolol!”
“Aku
mohon jangan salahin diri kamu sendiri. Ini semua salah aku Nala. Aku memang enggak bisa menjaga kepercayaan kamu.”
“Enggak usah sok peduli sama aku!”
“Maaf,
Nala. Maaf. Itu semua terjadi di bawah pengaruh alkohol. Aku dan Citra enggak pernah ada hubungan yang spesial.
Sungguh.”
“Udah enggak
ada gunanya lagi semua kata-kata kamu itu. Lebih baik kamu tanggung jawab atas
apa yang kamu lakukan ke Citra. Jangan pernah hubungi aku lagi!”
Hatiku
hancur. Pikiranku kabur. Ingin rasanya aku lari menjauh dari Putra namun kakiku
lemas. Hati ini pun seakan diperas-peras. Aku lelah. Aku pasrah. Kulangkahkan
kakiku selangkah demi selangkah. Berharap semua kejadian hari ini hanyalah
mimpi buruk dan aku bisa segera terbangun. Sayangnya, pedih ini begitu jelas
terasa. Nyeri hati ini amat nyata. Memaksaku menyadari ini semua bukan sekedar
mimpi buruk, ini kenyataan yang bahkan lebih buruk dari mimpi buruk sekalipun.
Semua imajinasi yang menggambarkan keindahan hidupku hari ini, hancur
berantakan. Dua tahun yang kutunggu demi bertemu cinta pertamaku lagi menjadi
sia-sia. Dan lima tahun yang aku habiskan bersamanya menjadi percuma. Tak ada
artinya.
*****
Semua
kenangan itu masih tergambar jelas di ingatanku. Dan luka kala itu masih saja
menganga. Setahun sudah setelah kejadian itu berlalu, namun kisah tentangnya
masih saja melekat bagai benalu. Aku masih terduduk di bangku, bangku yang sama
setahun lalu. Setelah aku dan dia mengakhiri kisah tentang kita di sini, aku
mendengar bahwa mantan kekasihku dan sahabatku itu pindah ke luar negeri. Dan
aku tak ngin tahu dimana itu.
Butuh waktu seminggu bagiku untuk bisa jatuh cinta
padanya. Tapi butuh waktu setahun membuatku berani menatap masa depan. Hingga
akhirnya aku memutuskan datang ke tempat ini lagi. Dengan satu tujuan.
Meninggalkan segala kenangan itu di sini. Membiarkan hembusan angin di bukit
ini menerbangkan segenap rasa untuknya dan membiarkannya melayang di langit
senja ini. Luka itu mungkin akan tetap ada, tapi akan aku simpan di ruang yang
tepat dan membiarkan ruang lain untuk di isi oleh orang yang tepat. Selamat
tinggal cinta pertamaku. Semoga kau bahagia bersama sahabat baikku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar