Dia menatapku dalam. Tak mau kalah, ku balas
pandangan itu sehambar mungkin. Berusaha menjelaskan kejenuhan dari tatapan
hambar ku itu. Sedetik, dua detik, hingga lima detik berlalu, ia tak bergeming.
Baru pada detik keenam, pandangannya melemah. Pasrah. Tapi bukannya lega yang
kudapati sesaat saat dia tertunduk lesu, kekecewaan justru mendesir dari dalam
dada. Aku ternyata kecewa. Aku ingin dia tak menyerah. Tidak sedetikpun aku
menginginkan kepergiannya.
Sayangnya aku terlalu sombong. Aku terlalu tamak. Aku
terlampau enggan untuk mengakuinya. Bukannya menahan dia yang kini memalingkan
tubuh dariku yang pergi menjauh, aku berdiri dalam diam memandangnya dengan
angkuh.
Berpikir bahwa ia akan kembali entah kapan. Setidaknya,
itulah yang biasa ia lakukan. Ia yang begitu sabar dengan kelakuan congkakku,
dengan segala kelakuan tidak tahu diriku. Ia yang begitu sabar akan
mendatangiku lagi, menerimaku utuh, memaklumiku, kemudian berdiri di sampingku.
Dia si sabar itu.
Sampai aku sadar. Dia juga manusia. Si sabar itu
juga manusia. Ia juga bisa lelah. Ia juga bisa muak. Aku yang ternyata sudah
entah berapa lama berdiri di tempat yang sama, memandang punggungnya dalam diam
hingga tak sejengkal tubuhnya pun terlihat dari jangkauan mataku, aromanya yang
tak tercium dari hidungku. Aku masih di sini. Menantinya, dengan mata yang
berawan. Sementara ia sudah menata hidupnya, tanpa ada namaku lagi.
Hari ini kusadari, ia tak sama lagi. Penantianku
harus diakhiri. Sebab aku melihatnya lagi tapi bukan sebagai si sabar milikku. Kini
ia adalah si sabar untuk seorang gadis disampingnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar