Terdiam ku pada malam. Membisu ku pada
senyap. Melemah ku pada rindu. Aku yang begitu kuat dan angkuh ini merasa malu
pada bulan, bintang, dan gelapnya langit malam.
Aku
yang kini terbiasa dengan kesendirian tertegun pada ketidaknyamananku
bersentuhan dengan kehampaan. Mungkin aku lupa bahwa diri ini pun merasakan
rindu. Tapi entah rindu ini kusematkan untuk siapa. Mungkin juga sesungguhnya
aku memang tidak merindukan “siapa” tapi merindukan “apa”. Apa yang mereka
sebut kebersamaan, kasih sayang, maupun cinta.
Aku
yang kini semakin berkawan dengan kesendirian mulai merasa bosan. Bosan
memahami keadaan dan ingin bertindak demi kepentingan diri sendiri. Bukan ku
tak pernah memikirkan diri sendiri. Bukan. Aku tak semalaikat itu. Aku sering
memikirkan apa yang menguntungkan bagiku, bagi kepentinganku. Hanya saja
pemikiran sok dewasa ku menyudahkannya, menghentikannya hanya menjadi sebuah
pemikiran bukan tindakan. Sebab apa yang ku perbuat sering kali berlainan
dengan pemikiranku. Aku bertindak bak protagonis naïf dalam sebuah drama. Tak
ada yang salah memang. Mana ada orang yang menghujam perbuatan baik yang
memperhatikan kepentingan orang lain. Sayangnya, tak selamanya hal itu tepat
dilakukan.
Aku yang kini terlena dengan anggunnya
kesendirian, megahnya kehampaan, dan angkuhnya kedewasaan terbentur pada
kerinduan menyayangi. Aku rindu menyayangi, setidaknya diriku sendiri. Harus
aku akui aku lelah beridiri tegak mengatakan ‘aku baik-baik saja’ manakala aku
tahu yang kubutuhkan saat itu adalah bersandar. Aku yang angkuh itu pada
akhirnya terjerat pada kekosongan yang mendalam. Memenjarakan ku pada wajah
yang tegar dan kuat sementara hati ku semakin lemah dan menggigil kedinginan.
Ya, hati ini kian dingin. Hati ini rindu merasakan hangat. Aku seharusnya
ingat, bahwa yang ku jalani adalah kisah ku sendiri. Hidupku adalah milikku
sendiri. Aku adalah pemimpin bagi diriku sendiri maka aku bertanggung jawab
atas diriku seutuhnya. Bukan untuk orang lain tapi ini untuk diriku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar