Dia memandangku tajam.
Tatapannya menelisik.
Benar-benar membuatku merasa terusik.
Matanya menyorotkan kemarahan, kebencian
yang tidak aku mengerti.
Cukup untuk membuat nyaliku ciut.
Aku takut.
Mata itu seperti ingin menyalahkan,
menyampaikan umpatan-umpatan.
Awalnya ku pikir tatapan itu ditujukkan
untuk ku. Sebab aku benar-benar merasa kecil dibawah sorot mata itu.
Tapi, saat aku dengan takut-takut berusaha
menatap balik mata itu, saat itu pula aku menyadari bahwa tatapan itu bukan
untukku. Tidak sama sekali.
Mata itu memang marah, benci, ingin
mengumpat. Memang benar.
Namun bukan kepada ku atau orang lain. Melainkan
dikhususkan kepada dunia, kepada semesta.
Dia seperti tak puas dengan hidupnya,
dunianya.
Tatapan mata itu benar-benar meresahkanku.
Merasa penasaran, ku coba menatapnya lebih
dalam, menyingkirkan perasaan takutku pada tatapan itu.
Berusaha mencari celah kemungkinan alasan
dia membenci.
Menggali guratan pengalaman yang membentuk
tatapan itu.
Ku pandangi garis-garis letih dari
wajahnya.
Ku selami matanya yang hitam legam.
Tatapannya yang kelam.
Anehnya, aku merasa ada yang salah dari
raut wajah itu, dari tatapan itu.
Mata itu bukan memancarkan kebencian tapi
lebih menyorotkan kesedihan.
Kesedihan yang mendalam ku temukan dari
dalam mata tegas itu.
Kesedihan yang tersamar dari keangkuhan mata
yang mengungkung air mata di dalamnya.
Tak membiarkan setetes pun lolos
menggulirkan dirinya diantara pipi yang kini seolah kehausan, kekeringan.
Air mata itu tertahankan kemudian menjelma
menjadi kekuatan fatamorgana.
Sebab dia tak sekuat itu, tak seberani itu untuk
membenci kehidupan.
Dia sedih.
Ingin menyalahkan.
Tapi satu-satunya hal yang dapat dia
persalahkan adalah dirinya sendiri.
Ya, dirinya sendiri adalah alasan paling
rasional yang dia simpulkan atas bagaimana dia hidup selama ini.
Aku memandangnya pilu. Merasa kasihan.
Dia balik memandangku kelu. Membisu.
Kami saling berhadapan. Berusaha mengerti
kepedihan masing-masing.
Aku yang terduduk di depan cermin dan dia
yang terduduk di seberang cermin.
Aku terhenyak.
Dia itu……….. Aku?