Minggu, 03 Januari 2016

Tembok Kamar

Gadis itu masih menangis. Tanpa suara. Tapi, tubuhnya bergetar hebat. Hari ini, gadis itu sudah tak tahan lagi. Semuanya emosi tumpah dalam tangisan itu. Seluruhnya. Gadis itu kecewa, untuk kesekian kalinya.
Aku hanya bisa diam. Tak tahu harus bagaimana. Maka diamlah aku dengan kaku dipojok kamar gadis itu. Menatapnya dengan nanar.
Biar kuingat, semuanya berawal dari setahun lalu kalau tak salah. Saat gadis itu mulai terlihat senyum-senyum sendiri bak orang gila, sibuk dengan telepon genggamnya tiap hari. Gadis itu terlihat sangat sumringah tiap hari, bersemangat setiap waktu, cekikian setiap malam. Kurasa gadis ini gila, awalnya. Sampai suatu waktu, aku melihatnya bersama seorang laki-laki bertubuh tinggi, badan kerempeng, kulitnya gelap, dan bergaya ala anak gaul jaman sekarang. Baiklah, baiklah, saat itu baru aku sadar. Gejala kegilaan gadis itu bukan penyakit jiwa tapi jatuh cinta. Dasar manusia. Gila dan jatuh cinta perbedaannya tipis ternyata.
Kisah gadis itu dan pria kerempeng itu berlanjut. Indah pada awalnya. Namun berubah perlahan-lahan setelahnya. Gadis itu mulai sering terlihat gelisah menatap telepon genggamnya setiap malam, cemberut setiap hari. Dasar manusia. Hatinya mudah berubah. Penasaran juga aku dibuat gadis itu. Sebenarnya ada apa sih.
Rasa penasaranku terjawab pada malam beberapa bulan lalu. Terjadi pertengkaran hebat antara gadis itu dan pria berkulit gelap yang membolak-balikkan hatinya. Tepat didepan mataku. Di kamar gadis itu. Barang-barang mulai melayang di sekitarku. Oke, ini sudah mulai mengerikan. Takut juga aku jadi korban salah sasaran dua sejoli yang memadu kasih itu. Si gadis itu menengadah, terlihat sekali menahan tangis. Pria bergaya ala anak gaul itu pun sudah dalam kondisi marah. Kata-kata seperti, selingkuh, genit, kenapa harus sahabatnya, merupakan kata-kata yang banyak keluar dari mulut si gadis itu. Sebaliknya, cuek, tidak perhatian, membosankan, dan dia yang merayu, merupakan kata-kata yang keluar dari si pria tinggi itu. Setelah keduanya lelah berargumen, sang laki-laki pergi meninggalkan gadis itu yang diam seribu bahasa. Tak ada tangis sama sekali. Untungnya, aku selamat dari kemungkinan jadi korban salah sasaran. Tubuhku masih utuh, tak ada memar. Malam itupun berlalu saat si gadis tertidur.
Setelah kejadian dramatis ala-ala malam itu, aku seperti kehilangan gadis itu yang biasa. Tak ada cemberut maupun tawa. Datar. Tanpa ekspresi. Kasihan, batinku turut berkomentar juga. Kupikir semuanya sudah berlalu antara gadis itu dan pria tinggi, kerempeng itu. Kupikir sekarang hanya butuh waktu yang menyembuhkan si gadis. Aku pikir.
Nyatanya, beberapa bulan setelahnya, disini aku berdiri, menatapnya menangis tersedu-sedu. Di depan sebuah undangan pernikahan.
Sementara aku, hanya bisa diam. Andai ada yang bisa dilakukan oleh tembok kamar sepertiku ini, selain hanya mendengar dan melihat apa yang terjadi pada tuannya, si pemilik kamar.

1 komentar:

  1. they said: time heals almost everything, but remember what Ariana grande sing aloud: almost is never enough :')

    BalasHapus